Sistem Pengelolaan Hutan Alam Indonesia berdasarkan Sudut
Pandang Etika Profesi Rimbawan
Dasar
pertimbangan pengelolaan hutan alam di indonesia lebih dominan didasari oleh
pertimbangan politik dibandingkan dengan pertimbangan profesionalisme. Kebijakan pertumbuhan ekonomi pada era orde
baru pada masa itu merupakan landasan dalam mengelola hutan alam di negara
kita. Kehutanan mendapat beban dalam
menopang perekonomian bangsa pada era itu. Menurut Darusman (2012) kehutanan
menempati posisi ke dua setelah migas dalam memberikan konstribusi terhadap pembangunan.
Sejak
dikeluarkan undang-undang pokok kehutanan Tahun 1967, sistem pengelolaan hutan alam
di Indonesia khususnya di luar pulau Jawa mengalami outcome yang signifikan terhadap kerusakaan hutan. Keputusan sistem pengelolaan hutan alam yang
diserahkan ke pihak swasata ternyata tidak memberikan dampak positif terhadap
kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, justru menjadi cela yang
membuat hancurnya hutan di luar pulau jawa.
Pengelolaan
hutan alam di Indonesia pada saat itu dilaksanakan oleh HPH. Pemerintah, sebagai pemilik sumberdaya hutan
memberikan kewenangan kepada HPH dalam mengelola hutan yang dibingkai dalam
aturan TPTI. Kebijakan TPTI memberikan ruang kepada HPH untuk melaksanakan
peran ganda atau bahkan peran multi
dalam pengelolaan hutan. Peran tersebut adalah inventarisasi pohon yang akan
ditebang, penebangan, dan inventarisasi tegakan tinggal serta penebangan yang semuanya
dilaksanakan oleh HPH dengan kontrol yang sangat terbatas dari pemilik
sumberdaya hutan.
Peran
multi yang dijalankan oleh HPH tersebut ternyata menimbulkan perilaku yang kurang
baik dalam mengelola hutan. Berdasarkan
rasionalitas ekonominya, perusahaan berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang
optimal. Jumlah pohon yang akan ditebang
ditentukan oleh HPH melalui inventarisasi sementara pemilik sumberdaya hutan
tidak mempunyai data yang akurat tentang jumlah sumberdaya yang dimiliki. AAC
yang disusun sebagai acuan pada masa itu tidak dapat menggambarkan kondisi
hutan secara menyeluruh. Cela ini
dimanfaatkan oleh HPH untuk menaikkan data potensi hutan yang akan ditebang. Pada kegiatan inventarisasi tegakan tinggal,
bisa menimbulkan perilaku tidak baik karena HPH dapat saja membuat laporan yang
menyatakan bahwa potensi tegakan tinggal masih cukup tinggi. Kegiatan
monitoring yang dilakukan oleh pemilik sumberdaya hutan (pemerintah) sangat
terbatas dan pemerintah seolah meyakini kebenaran semua data yang dilakukan
oleh HPH tersebut.
Peran
multi yang diberikan kepada pihak swasta sebenarnya bukanlah sebuah masalah
asalkan yang mengelola hutan adalah profesional kehutanan yang mempunyai etika
yang baik dan komitmen membangun hutan, bukan hanya rasionalitas ekonomi. Menurut List (2000) dikatakan profesional
jika memiliki keahlian yang didasarkan atas pengetahuan teoritis dan spesialis,
dapat teruji dan cakap. Tanpa pendidikan dasar yang mencukupi maka tidak
bisa dikatakan sebagai seorang yang profesional. Tetapi pendidikan dan
pengetahuan dasar saja belum cukup untuk membentuk seseorang menjadi
profesional, butuh waktu dan pengalaman serta pengetahuan akan
komponen-komponen etika. Kelihatannya, HPH bukanlah organisasi profesional
dalam pengelolaan hutan meskipun didalamnya terdapat rimbawan yang profesional
tapi tidak berdaya. Kebijakan pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak
swasta dalam mengelola hutan alam dianggap keliru jika yang diberikan
kewenangan itu bukanlah organisasi profesional dalam pengelolaan hutan. Profesionalisme yang digambarkan oleh List (2000) pada dasarnya
membutuhkan tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola. Kekeliruan dalam sistem pengelolaan hutan
alam bukan terletak pada sistem pengelolaanya, akan tetapi terletak
pada organisasi
yang diberikan kewenangan mengelola
hutan bukanlah organisasi
profesional
Sekarang
ini terdapat juga kebijakan
Pemerintah (Dephut) mengenai larangan ekspor logs dan pengintegrasian
pengusahaan hutan dengan industri pengolahan kayu. Seperti yang
uraikan oleh Irland (2005) kebijakan ini merupakan praktek dua dalam satu. Kebijakan ini bisa menghasikan perilaku tidak
baik dalam pengelolaan karena bisa saja terjadi transfer harga dari HPH ke
industri yang masih dalam lingkungan satu grup. Kebijakan ini bisa melahirkan struktur pasar monopsoni, yang membawa implikasi
ketidakadilan harga, dimana harga sumberdaya (kayu) terlalu rendah.
Pasar kayu bulat tidak transparan dan menimbulkan perdagangan internal (internal trade) sehinga harga tidak mencerminkan harga yang
sebenarnya yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Jika harga sumberdaya kayu rendah maka nilai
yang diterima oleh pemilik sumberdaya (pemerintah) tidak mencerminkan nilai
yang sesungguhnya yang dapat diterima.
Benar-Salah atau Baik-Burukkah Sistem Pengelolaan
Hutan Alam Indonesia
Persoalan
etika bukan menyangkut salah atau benar akan tapi berkaitan dengan baik atau
buruk. Berbeda dengan etika, ilmu pengetahuan mengkaji tentang benar atau salah
terhadap suatu objek atau situasi.
Kebenaran ilmu pengetahuan bergantung pada waktu dan tempat. Tidak heran, jika penerapan ilmu pengelolaan
hutan pada waktu tertentu dianggap tidak tepat lagi, karena sistem yang
berkaitan dengan kehutanan selalu bersifat dinamis.
Sangat
berat untuk mengatakan bahwa pengelolaan hutan alam di Indonesia adalah benar
atau salah, meskipun faktanya terjadi deforestasi dan degradasi hutan. Kenyataannya, sampai saat ini kita belum
menemukan atau masih mencari resep
terbaik (panacea) terhadap pengelolaan
hutan di Indonesia, atau mungkin sebenarnya tidak ada resep yang tepat selain
selalu belajar secara sadar dan kontinyu dari kejadian masa lalu seperti yang
dinyatakan oleh Masher (1994) tentang pengelolaan adaptif.
Kerusakan
hutan alam di Indonesia terus terjadi. Ilmu kehutanan selalu mengalami koreksi
yang diikuti dengan perubahan sistem silkvikultur hutan dan manajemen hutan
alam. Sistem TPI selanjutnya diganti dengan sistem TPTI pada saat itu, namun tetap tidak mampu menahan laju
kerusakan hutan. Ilmu manajemen hutan
juga dicurigai merupakan sumber kesalahan yang menetapkan umur konsesi HPH 20
tahun sedangkan siklus tebangan 35 tahun. Pada akhirnya dicurigai adanya faktor lain yang lebih
signifikan pengaruhnnya terhadap kerusakan hutan. Penulis lebih cenderung
menyatakan bahwa sistem pengusahaan hutan yang dijalankan oleh HPH tidak
terjamah oleh ilmu pengetahuan kehutanan. Kalau demikian, ini mungkin bukan
persoalan salah atau benar terhadap pengelolaan tetapi menyangkut baik atau buruknya
etika pengelola hutan.
Berangkat
dari kejadian masa lalu, etika pengusahaan hutan khususnya hutan alam dengan
sistem TPTI yang dijalankan oleh HPH terjadi ketimpangan. Etika yang buruk dari pengusahaan hutan di Indonesia
adalah terjadinya over cutting sehingga stok hutan menjadi menurun. Kejadian
ini muncul karena pemerintah menyerahkan hutan alam untuk dikelola kepada
pengelola hutan yang tidak profesional (HPH) dalam pengelolaan hutan. Terlebih lagi,
praktek multi dijalankan oleh HPH dengan kontrol yang lemah dari pemilik
sumberdaya hutan menjadikan HPH bebas beraktivitas untuk meraih keuntungan yang
maksimal.
Apakah Etika Profesi
Rimbawan dalam Pengelolaan Hutan Negara berbeda dengan Pengelolaan Hutan Milik.
Pada prinsipnya etika
profesi rimbawan bukan hanya dibutuhkan dalam pengelolaan hutan milik tetapi
juga dibutuhkan dalam pengelolaan hutan
negara, sehingga tidak ada perbedaan dari sudut pandang etika. Etika
pengelolaan yang yang dicontohkan oleh Irland (2005) tentang praktik dua
kegiatan yang dilaksanakan oleh satu orang atau organisasi yang terjadi pada
hutan milik, mempunyai kesamaan praktik di negara kita. Hanya saja, kasus ini di Indonesia banyak
terjadi di hutan negara yang dijalankan oleh HPH.
Irland (2005)
menyarankan ketika praktek dua kegiatan yang dijalankan oleh satu organisasi,
maka pemilik hutan harus sadar bahwa pengusaha atau konsultan melakukan
kegiatan ganda yang bisa merugikan sehingga dibutuhkan kesepakatan dan
pengawasan yang ketat. Kejadiannya di
Indonesia, pemilik sumberdaya hutan (pemerintah) seakan tidak menyadari bahwa
pengusahaan hutan yang dijalankan oleh HPH merupakan praktik dua kegiatan atau
lebih yang dijalankan oleh satu. Ketidak
sadaran akan praktik ini dan lemahnya pengawasan menyebabkan kerugian dan
kerusakan hutan.
Pengelolaan hutan baik
pada hutan milik maupun hutan negara seyogyanya dilakukan oleh orang atau
organisasi yang profesional dan memiliki etika yang baik dalam pengelolaan
hutan. Peranan etika harus dijunjung
tinggi dalam pengelolaan hutan karena pengelolaan hutan berkaitan dengan
keberlangsungan kehidupan mahluk hidup dan mempunyai peluang kesalahan.
Profesi adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma serta memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1
butir 1 UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen)
Contoh praktik dua
kegiatan yang dilakukan oleh satu organisasi pada hutan milik seperti yang
dicontohkan Irland (2005) memang belum banyak terjadi di Indonesia. Hutan milik di Indonesia cenderung dimiiliki
oleh perorangan yang luasnya masih kecil. Pemilik hutan pada umumnya hanya
membutuhkan jasa dari konsultan (perusahaan) dalam bidang penebangan, sedangkan
inventarisasi potensi masih dilakukan
sendiri oleh pemilik hutan (bukan oleh pihak lain) karena jumlah yang ditebang
masih terbatas.
Sumber Bacaan:
Darusman D., 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor.
Irland L.C. 2005. “The ethics of forest
management.” Northern Woodlands, Summer, p. 9.www.northernwoodlands.org.
List P.C., 2000. Environmental Ethics and Forestry. Temple University Press. Philadephia.
Masher C., 1994.
Sustainable Forestry; Philisophy, Science adn Economics. St. Lucie
Press. Florida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar