Skala Pengukuran dan Angka Penting
Oleh: Sudirman Dg. Massiri, S.Hut., M.Sc
I. Pemahaman Data dan Informasi
Data adalah kumpulan kejadian yang diangkat dari suatu kenyataan. Data adalah deskripsi tentang benda, kejadian, aktivitas, dan transaksi, yang tidak mempunyai makna atau tidak berpengaruh secara langsung kepada pemakai Oleh karena itu, data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih memerlukan adanya suatu pengolahan. Wujud dari data dapat berupa nilai yang terformat, teks, citra, audio dan Vidio.
Data yang telah diolah disebut informasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Informasi merupakan hasil pengolahan dari sebuah model, formasi, organisasi, ataupun suatu perubahan bentuk dari data yang memiliki nilai tertentu, dan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan bagi yang menerimanya. Dalam hal ini, data bisa dianggap sebagai obyek dan informasi adalah suatu subyek yang bermanfaat bagi penerimanya.
Contoh data dalam bidang kehutanan seperti data pengukuran diameter pohon, hasil pengukuran tinggi pohon. Bentuk lain dari data dapat berupa audio seperti hasil wawancara dengan masayarakat sekitar hutan yang direkam dalam tape recorder. Contoh bentuk data vidio dalam bidang kehutanan adalah hasil cuplikan vidio tentang perilaku satwa di hutan. Selain itu, citra satelit juga merupakan data. Semua contoh data di atas belum memberikan arti bagi penerimanya dan masih membutuhkan pengolahan.
Setelah melalui proses pengolahan berdasarkan tujuan tertentu, data tersebut dapat memberikan arti untuk menambah pengethuan bagi penerimanya. Data pengukuran diameter pohon dan tinggi pohon dapat memberikan informasi potensi volume pohon atau stok dalam suatu kawasan hutan. Begitu juga data audio tentang wawancara masyarakat di sekitar hutan dapat diolah sehingga memberikan informasi tentang persepsi masyarakat terhadap hutan, tingkat ketergantungan masyarakat dengan hutan dan lain-lain. Data citra hanyalah merupakan gambar yang belum mempunyai arti. Akan tetapi setelah melalui proses pengolahan, data ini dapat memberikan informasi yang sangat bermanfaat seperti informasi kondisi hutan, informasi kerusakan hutan, potensi tegakan, karbon, dan sebagainya.
Terkadang untuk memperoleh sebuah informasi membutuhkan lebih dari satu data. Contohnya, informasi tentang potensi karbon dalam suatu kawasan hutan yang luas membutuhkan data citra dan data diameter pohon. Data diameter yang diolah dalam persamaan allometrik yang tersedia, selanjutnya padukan dengan data citra akan menghasilkan informasi potensi karbon dalam kawasan hutan tersebut.
II. Klasifikasi Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan aturan-aturan pemberian angka untuk berbagi objek sedemikian rupa sehingga obyek ini mewakili kualitas atribut. Terdapat empat skala pengukuran sebagai berikut:
a. Skala Nominal
Merupakan salah satu jenis pengukuran di mana angka dikenakan untuk objek atau kelas objek untuk tujuan identifikasi. skala ini berfungsi untuk mengelompokan data, tetapi tidak memiliki arti. Contoh di bidang kehutanan yakni petani hutan diberi angka 1, bukan petani hutan diberi angka 2. Contoh lain adalah perambah hutan diberi angka 1, bukan perambah diberi angka 2. Distribusi spasial vegetasi; acak = 1, mengelompok = 2, dan merata = 3. Angka 2 tidak berarti lebih besar dari angka 1.
b. Skala ordinal
Merupakan skala satu jenis pengukuran dimana angka dikenakan terhadap data berdasarkan urutan dari obyek. Skala ini memberi arti prioritas/peringkat/ranking. Jarak satu angka dengan angka lainnya mungkin tidak sama. Contoh data ordinal dalam bidang kehutanan adalah tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan; sangat berpartisipasi = 4, berpartisipasi = 3, kurang berpartisipasi = 2, tidak berpartisipasi = 1.
c. Skala Interval
Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka-angka yang dikenakan memungkinkan kita untuk membandingkan ukuran dari selisih antara angka-angka. Skala interval adalah skala yang jaraknya sama, tetapi tidak mempunhyai nilai nol absolut (mutlak). Nilai nol masih punya arti. Contoh di bidang kehutanan adalah pengukuran suhu di hutan, penentuan azimuth pohon dalam plot.
d. Skala Rasio
Merupakan salah satu jenis pengukuran yang memiliki nol alamiah atau nol absolut. Pengukuran menggunakan skala ini bisa dibuat penjumlahan atau perkalian. Contoh skala ini di bidang kehutanan adalah pengukuran volume pohon, biomassa, karbon dan lain-lain.
III. Angka Penting
Angka penting adalah semua angka yang diperoleh dari hasil pengukuran, terdiri atas angka-angka pasti dan angka angka terakhir yang ditaksir (angka taksiran). Angka pasti diperoleh dari penghitungan skala alat ukur, sedangkan angka taksiran diperoleh dari setengah skala terkecil. Sebagai contoh, pengukuran diamater semai adalah 17,5 mm. Angka 17 diperoleh dari pengukuran skala yang disebut dengan angka pasti, sedangkan angka 0,5 diperoleh dari ½ mm atau kurang dari 1 mm merupakan angka taksiran.
Jika sebuah batang panjangnya ditulis 18,4 centimeter. Secara umum panjang batang tersebut telah diukur sampai dengan perpuluhan centimeter dan nilai eksaknya terletak di antara 18,35 cm hingga 15,45 cm. Seandainya pengukuran panjang batang tersebut dinyatakan sebagai 18,40 cm berarti pengukuran batang telah dilakukan hingga ketelitian ratusan centimeter. Pada 18,4 cm maka terdapat 3 angka yang penting sebagai hasil pengukuran. Pada pelaporan hasil pengukuran 18,40 cm berarti terdapat 4 angka yang penting sebagai hasil pengukuran.
Hasil pengolahan data tidak boleh lebih banyak angka pentingnya dibandingkan dengan hasi pengukuran. Ketelitian pengelohan data tidak boleh melebihi ketelitian pengukuran, seperti penggunaan 3 bahkan lebih angka penting setelah koma pada alat ukur mistar sementara skala pada mistar yang digunakan hanya sampai pada skala mm. Contoh kesalahan angka penting adalah hasil pengolahan data mendapatkan nilai 12,573 cm padahal skala minimal pada alat ukur yang digunakan adalah mm.
Aturan perkalian/pembagian angka penting
1. Perkalian/pembagian antar angka pasti dengan angka pasti hasilnya angka pasti.
2. Perkalian/pembagian antar angka pasti dengan taksiran hasilnya angka taksiran.
3. Hasil perkalian/pembagian angka penting hanya memuat satu angka taksiran.
Dengan ketentuan ini ternyata hasilnya memiliki angka penting yang jumlah angka penting sama dengan jumlah angka penting terkecil yang dikalikan.
Contoh :
- 2 angka penting x 5 angka penting = 2 angka penting
- 5 angka penting x 3 angka penting = 3 angka penting
Rabu, 21 November 2012
Kelembagaan dan Lingkungan
Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat common-pool resources (hutan, perikanan dan perairan) yang dilakukan oleh individu mempunyai potensi untuk mengurangi atau menghilangkan manfaat bagi yang lainnya. Pemanenan kayu yang dilakukan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaan sumberdaya bagi yang lainnya. Untuk mewujudkan pengelolaan common-pool resources yang baik dan bekelanjutan dibutuhkan institusi. Kata institusi merupakan aturan yang manusia gunakan ketika berinteraksi di dalam situasi berulang dan terstruktur di berbagai tingkat analisis (North, 2005; Ostrom, 2005). Jika tidak ada institusi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, bisa terjadi overharvested atau pemanenan yang berlebihan dan bahkan kerusakan sumberdaya alam (FAO, 2005; Mullon et all., 2005; Myers dan Worm, 2003).
Pemodelan Masalah Open Akses
Bagi Teoritist institusi, pengembangan model formal telah menjadi perangkat yang sangat penting untuk menganalisis permasalahan pemanenan yang berlebihan terhadap common-pool resources dan bagaimana mengatasi kerusakan sumberdaya tersebut. Pada tahun 1954, Gordon telah memperkenalkan model perikanan yang merupakan model statis common-pool resources, digambarkan sebagai berikut.
Pada sumberdaya perikanan yang bersifat open akses, mendorong setiap nelayan untuk melakukan penigkatan investasi usaha pemanenan yang berlebihan sampai mencapai ekiulibrium bioeconomic yakni pada titik EOA. Titik ini sebenarnya tidak optimal lagi, dimana titik optimal dan berkelanjutan terletak pada titik EMY.
Merekomendasikan Kelembagaan yang optimal
Praktek pemanenan yang berkelanjutan yang digambarkan pada model Gordon, dapat dicapai melalui tiga aturan atau institusi. Beberapa aturan yang direkomendasikan sebagai 'yang optimal' terhadap common-pool resources adalah kemilikan pribadi (Demsetz, 1967; Raymond, 2003), kepemilikan pemerintah (Lovejoy, 2006; Terborgh, 1999, 2000), atau kontrol masyarakat (Vermillion dan Sagardoy, 1999).
Ketiga aturan yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya di berbagai daerah dapat berhasil mengatur pemanenan sumberdaya sehingga tidak terjadi overharvested. Beberapa contoh telah memperlihatkan pemanfaatan common- pool resources untuk mencapai hasil jangka pendek yang lebih efisien dan berpotensi untuk mempertahankan sumber daya jangka panjang.
Beberapa contoh penerapan common-pool resources yang kuasai oleh private dapat mencegah kerusakan sumberdaya dan menciptakan pendapatan yang berkelanjutan. Sistem monitoring yang efektif merupakan aspek yang sangat penting dalam menunjang pengelolaan common-pool resources yang dikelola oleh privat.
Menurut Lavejoy (2006) dan Terborgh, (1999), kepemilikan lahan oleh pemerintah hanyalah merupakan cara untuk menghasilkan konsevasi yang berkelanjutan sepanjang tahun. Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh rimbawan secara independen terhadap hutan yang dimiliki oleh pemerintah dengan hutan yang dimiliki oleh privat dan comunal menunjukkan tidak adanya perbedaan secara siginfikan (Hayes, 2006; see also Gibson et al., 2005). Ostrom and Nagendra (2006) justru menegaskan bahwa hutan yang dimiliki oleh pemerintah contohnya Mahananda Wildlife Sanctuary di bengal, India, mampu mencegah deforestasi, tetapi menggunakan biaya administrasi yang tinggi dan menghadapi konflik yang besar dengan masyarakat lokal.
Common-pool resources yang dimiliki oleh komunal bukanlah merupakan panacea untuk mengatasi overharvestd, seperti halnya yang dimiliki oleh privat dan pemerintah. Pengelolaan sumberdaya baik yang dikuasai oleh komunal mapun pemerintah dan privat semuanya mempunyai potensi yang efektif untuk mengurangi kerusakan, akan tetapi bergantung pada kondisi masing-masing. Yang perlu disadari adalah tidak ada solusi yang sederhana dalam mengelola ekologi yang mempunyai komplesitas yang tinggi.
Dari Solusi Optimal Menuju Tata Kelola Multi Level yang adaptif.
Sesungguhnya tidak ada aturan yang optimal yang dapat diterapkan pada bidang kehutanan, perikanan dan perairan. One-size fits-all solutions merupakan sebuah kekeliruan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teori kelembagaan perlu mengenali kondisi ekologi, kompleksitas, sifat non-linier, selforganising dan aspek dinamis serta beberapa tujuan dan skala spasial dan temporal yang terjadi.Untuk mempelajari semua variabel itu, yang paling penting adalah melakukan berbagai eksperimen, belajar secara sadar dan adaptasi. Untuk dapat mempelajari sistem sumbedaya yang kompleks tersebut , dibutuhkan pendekatan model
Memikirkan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa kajian yang telah dilakukan secara berulang belum menemukan aturan yang spesifik untuk dapat diterapkan pada kegiatan di dalam common-pool resources yang lebih luas. Akan tetapi, hal yang pasti adalah bahwa tidak adanya aturan dan kontrol yang menjamin jumlah panen, waktu panen, dan teknologi yang digunakan merupakan sebuah gambaran kinerja yang buruk.
Rancangan kelembagaan yang efektif tidak dapat dilakukan melalui pendekatan top down, akan tetapi melalui pendekatan eksperimen, menganalisis struktur common-pool resources dan perubahan struktur tersebut dari waktu ke waktu.
Melakukan Percobaan melalui Perubahan Peraturan
Kompleksitas lingkungan yang selalu berubah menuntut adanya perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan sesungguhnya merupakan sebuah percobaan yang didasarkan pada harapan atas manfaat yang potensial dan distribusi manfaat untuk partisipan melalui waktu dan ruang.
Suatu negara yang mempunyai wilayah yang luas dan tipe ekosistemnya beragam, tidak tepat untuk menerapkan satu (tunggal) peraturan yang berhubungan dengan common-pool resources. Peraturan bisa saja tepat di satu regional akan tetapi tidak efektif untuk yang lainnya. Perubahan kebijakan yang dilakukan secara sentralistik terkadang tidak tepat, karena subtansi masalah tidak terungkap secara benar. Perubahan kebijakan yang didasarkan atas kesalahan data tentang variabel kunci dan kesalahan asumsi tentang bagaimana aktor bereaksi dapat menimbulkan bencana. Kita perlu memahami apa tingkat redundansi, tumpang tindih dan otonomi untuk membantu adaptasi aturan yang bekerja untuk sumber daya di bawah kondisi sosial-ekonomi tertentu. selanjutnya, kita perlu fokus pada bagaimana meningkatkan kekokohan lembaga-lembaga untuk gangguan yang beragam dari waktu ke waktu (Anderies et al, 2007; Janssen et al, 2007).
Pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat common-pool resources (hutan, perikanan dan perairan) yang dilakukan oleh individu mempunyai potensi untuk mengurangi atau menghilangkan manfaat bagi yang lainnya. Pemanenan kayu yang dilakukan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaan sumberdaya bagi yang lainnya. Untuk mewujudkan pengelolaan common-pool resources yang baik dan bekelanjutan dibutuhkan institusi. Kata institusi merupakan aturan yang manusia gunakan ketika berinteraksi di dalam situasi berulang dan terstruktur di berbagai tingkat analisis (North, 2005; Ostrom, 2005). Jika tidak ada institusi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, bisa terjadi overharvested atau pemanenan yang berlebihan dan bahkan kerusakan sumberdaya alam (FAO, 2005; Mullon et all., 2005; Myers dan Worm, 2003).
Pemodelan Masalah Open Akses
Bagi Teoritist institusi, pengembangan model formal telah menjadi perangkat yang sangat penting untuk menganalisis permasalahan pemanenan yang berlebihan terhadap common-pool resources dan bagaimana mengatasi kerusakan sumberdaya tersebut. Pada tahun 1954, Gordon telah memperkenalkan model perikanan yang merupakan model statis common-pool resources, digambarkan sebagai berikut.
Pada sumberdaya perikanan yang bersifat open akses, mendorong setiap nelayan untuk melakukan penigkatan investasi usaha pemanenan yang berlebihan sampai mencapai ekiulibrium bioeconomic yakni pada titik EOA. Titik ini sebenarnya tidak optimal lagi, dimana titik optimal dan berkelanjutan terletak pada titik EMY.
Gambar 1. Model Gordon Bioekonomi Perikanan : Clark (2006, hal 11)
Pada sumberdaya yang bersifat common-pool resources, seperti perikanan, kehutanan dan perairan yang bersifat open akses, pendapatan akan meningkat pada kondisi jumlah yang memanen tidak banyak (optimal), akan tetapi jika jumlah yang memanen bertambah dan berlebihan akan menyebabkan pendapatan akan menurun dan tidak berkelanjutan. Ini terjadi karena jumlah yang dipanen melebihi kapasitas produktivitas sumberdaya tersebut. untuk itu dibutuhkan sebuah institusi yang mengatur pemanenan sumberdaya yang bersifat common-pool resources agar pendapatan dapat optimal dan berkelanjutan.Merekomendasikan Kelembagaan yang optimal
Praktek pemanenan yang berkelanjutan yang digambarkan pada model Gordon, dapat dicapai melalui tiga aturan atau institusi. Beberapa aturan yang direkomendasikan sebagai 'yang optimal' terhadap common-pool resources adalah kemilikan pribadi (Demsetz, 1967; Raymond, 2003), kepemilikan pemerintah (Lovejoy, 2006; Terborgh, 1999, 2000), atau kontrol masyarakat (Vermillion dan Sagardoy, 1999).
Ketiga aturan yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya di berbagai daerah dapat berhasil mengatur pemanenan sumberdaya sehingga tidak terjadi overharvested. Beberapa contoh telah memperlihatkan pemanfaatan common- pool resources untuk mencapai hasil jangka pendek yang lebih efisien dan berpotensi untuk mempertahankan sumber daya jangka panjang.
Beberapa contoh penerapan common-pool resources yang kuasai oleh private dapat mencegah kerusakan sumberdaya dan menciptakan pendapatan yang berkelanjutan. Sistem monitoring yang efektif merupakan aspek yang sangat penting dalam menunjang pengelolaan common-pool resources yang dikelola oleh privat.
Menurut Lavejoy (2006) dan Terborgh, (1999), kepemilikan lahan oleh pemerintah hanyalah merupakan cara untuk menghasilkan konsevasi yang berkelanjutan sepanjang tahun. Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh rimbawan secara independen terhadap hutan yang dimiliki oleh pemerintah dengan hutan yang dimiliki oleh privat dan comunal menunjukkan tidak adanya perbedaan secara siginfikan (Hayes, 2006; see also Gibson et al., 2005). Ostrom and Nagendra (2006) justru menegaskan bahwa hutan yang dimiliki oleh pemerintah contohnya Mahananda Wildlife Sanctuary di bengal, India, mampu mencegah deforestasi, tetapi menggunakan biaya administrasi yang tinggi dan menghadapi konflik yang besar dengan masyarakat lokal.
Common-pool resources yang dimiliki oleh komunal bukanlah merupakan panacea untuk mengatasi overharvestd, seperti halnya yang dimiliki oleh privat dan pemerintah. Pengelolaan sumberdaya baik yang dikuasai oleh komunal mapun pemerintah dan privat semuanya mempunyai potensi yang efektif untuk mengurangi kerusakan, akan tetapi bergantung pada kondisi masing-masing. Yang perlu disadari adalah tidak ada solusi yang sederhana dalam mengelola ekologi yang mempunyai komplesitas yang tinggi.
Dari Solusi Optimal Menuju Tata Kelola Multi Level yang adaptif.
Sesungguhnya tidak ada aturan yang optimal yang dapat diterapkan pada bidang kehutanan, perikanan dan perairan. One-size fits-all solutions merupakan sebuah kekeliruan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teori kelembagaan perlu mengenali kondisi ekologi, kompleksitas, sifat non-linier, selforganising dan aspek dinamis serta beberapa tujuan dan skala spasial dan temporal yang terjadi.Untuk mempelajari semua variabel itu, yang paling penting adalah melakukan berbagai eksperimen, belajar secara sadar dan adaptasi. Untuk dapat mempelajari sistem sumbedaya yang kompleks tersebut , dibutuhkan pendekatan model
Memikirkan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa kajian yang telah dilakukan secara berulang belum menemukan aturan yang spesifik untuk dapat diterapkan pada kegiatan di dalam common-pool resources yang lebih luas. Akan tetapi, hal yang pasti adalah bahwa tidak adanya aturan dan kontrol yang menjamin jumlah panen, waktu panen, dan teknologi yang digunakan merupakan sebuah gambaran kinerja yang buruk.
Rancangan kelembagaan yang efektif tidak dapat dilakukan melalui pendekatan top down, akan tetapi melalui pendekatan eksperimen, menganalisis struktur common-pool resources dan perubahan struktur tersebut dari waktu ke waktu.
Melakukan Percobaan melalui Perubahan Peraturan
Kompleksitas lingkungan yang selalu berubah menuntut adanya perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan sesungguhnya merupakan sebuah percobaan yang didasarkan pada harapan atas manfaat yang potensial dan distribusi manfaat untuk partisipan melalui waktu dan ruang.
Suatu negara yang mempunyai wilayah yang luas dan tipe ekosistemnya beragam, tidak tepat untuk menerapkan satu (tunggal) peraturan yang berhubungan dengan common-pool resources. Peraturan bisa saja tepat di satu regional akan tetapi tidak efektif untuk yang lainnya. Perubahan kebijakan yang dilakukan secara sentralistik terkadang tidak tepat, karena subtansi masalah tidak terungkap secara benar. Perubahan kebijakan yang didasarkan atas kesalahan data tentang variabel kunci dan kesalahan asumsi tentang bagaimana aktor bereaksi dapat menimbulkan bencana. Kita perlu memahami apa tingkat redundansi, tumpang tindih dan otonomi untuk membantu adaptasi aturan yang bekerja untuk sumber daya di bawah kondisi sosial-ekonomi tertentu. selanjutnya, kita perlu fokus pada bagaimana meningkatkan kekokohan lembaga-lembaga untuk gangguan yang beragam dari waktu ke waktu (Anderies et al, 2007; Janssen et al, 2007).
Rabu, 14 November 2012
Etika Pengelolaan Hutan
Sistem Pengelolaan Hutan Alam Indonesia berdasarkan Sudut
Pandang Etika Profesi Rimbawan
Dasar
pertimbangan pengelolaan hutan alam di indonesia lebih dominan didasari oleh
pertimbangan politik dibandingkan dengan pertimbangan profesionalisme. Kebijakan pertumbuhan ekonomi pada era orde
baru pada masa itu merupakan landasan dalam mengelola hutan alam di negara
kita. Kehutanan mendapat beban dalam
menopang perekonomian bangsa pada era itu. Menurut Darusman (2012) kehutanan
menempati posisi ke dua setelah migas dalam memberikan konstribusi terhadap pembangunan.
Sejak
dikeluarkan undang-undang pokok kehutanan Tahun 1967, sistem pengelolaan hutan alam
di Indonesia khususnya di luar pulau Jawa mengalami outcome yang signifikan terhadap kerusakaan hutan. Keputusan sistem pengelolaan hutan alam yang
diserahkan ke pihak swasata ternyata tidak memberikan dampak positif terhadap
kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, justru menjadi cela yang
membuat hancurnya hutan di luar pulau jawa.
Pengelolaan
hutan alam di Indonesia pada saat itu dilaksanakan oleh HPH. Pemerintah, sebagai pemilik sumberdaya hutan
memberikan kewenangan kepada HPH dalam mengelola hutan yang dibingkai dalam
aturan TPTI. Kebijakan TPTI memberikan ruang kepada HPH untuk melaksanakan
peran ganda atau bahkan peran multi
dalam pengelolaan hutan. Peran tersebut adalah inventarisasi pohon yang akan
ditebang, penebangan, dan inventarisasi tegakan tinggal serta penebangan yang semuanya
dilaksanakan oleh HPH dengan kontrol yang sangat terbatas dari pemilik
sumberdaya hutan.
Peran
multi yang dijalankan oleh HPH tersebut ternyata menimbulkan perilaku yang kurang
baik dalam mengelola hutan. Berdasarkan
rasionalitas ekonominya, perusahaan berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang
optimal. Jumlah pohon yang akan ditebang
ditentukan oleh HPH melalui inventarisasi sementara pemilik sumberdaya hutan
tidak mempunyai data yang akurat tentang jumlah sumberdaya yang dimiliki. AAC
yang disusun sebagai acuan pada masa itu tidak dapat menggambarkan kondisi
hutan secara menyeluruh. Cela ini
dimanfaatkan oleh HPH untuk menaikkan data potensi hutan yang akan ditebang. Pada kegiatan inventarisasi tegakan tinggal,
bisa menimbulkan perilaku tidak baik karena HPH dapat saja membuat laporan yang
menyatakan bahwa potensi tegakan tinggal masih cukup tinggi. Kegiatan
monitoring yang dilakukan oleh pemilik sumberdaya hutan (pemerintah) sangat
terbatas dan pemerintah seolah meyakini kebenaran semua data yang dilakukan
oleh HPH tersebut.
Peran
multi yang diberikan kepada pihak swasta sebenarnya bukanlah sebuah masalah
asalkan yang mengelola hutan adalah profesional kehutanan yang mempunyai etika
yang baik dan komitmen membangun hutan, bukan hanya rasionalitas ekonomi. Menurut List (2000) dikatakan profesional
jika memiliki keahlian yang didasarkan atas pengetahuan teoritis dan spesialis,
dapat teruji dan cakap. Tanpa pendidikan dasar yang mencukupi maka tidak
bisa dikatakan sebagai seorang yang profesional. Tetapi pendidikan dan
pengetahuan dasar saja belum cukup untuk membentuk seseorang menjadi
profesional, butuh waktu dan pengalaman serta pengetahuan akan
komponen-komponen etika. Kelihatannya, HPH bukanlah organisasi profesional
dalam pengelolaan hutan meskipun didalamnya terdapat rimbawan yang profesional
tapi tidak berdaya. Kebijakan pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak
swasta dalam mengelola hutan alam dianggap keliru jika yang diberikan
kewenangan itu bukanlah organisasi profesional dalam pengelolaan hutan. Profesionalisme yang digambarkan oleh List (2000) pada dasarnya
membutuhkan tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola. Kekeliruan dalam sistem pengelolaan hutan
alam bukan terletak pada sistem pengelolaanya, akan tetapi terletak
pada organisasi
yang diberikan kewenangan mengelola
hutan bukanlah organisasi
profesional
Sekarang
ini terdapat juga kebijakan
Pemerintah (Dephut) mengenai larangan ekspor logs dan pengintegrasian
pengusahaan hutan dengan industri pengolahan kayu. Seperti yang
uraikan oleh Irland (2005) kebijakan ini merupakan praktek dua dalam satu. Kebijakan ini bisa menghasikan perilaku tidak
baik dalam pengelolaan karena bisa saja terjadi transfer harga dari HPH ke
industri yang masih dalam lingkungan satu grup. Kebijakan ini bisa melahirkan struktur pasar monopsoni, yang membawa implikasi
ketidakadilan harga, dimana harga sumberdaya (kayu) terlalu rendah.
Pasar kayu bulat tidak transparan dan menimbulkan perdagangan internal (internal trade) sehinga harga tidak mencerminkan harga yang
sebenarnya yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Jika harga sumberdaya kayu rendah maka nilai
yang diterima oleh pemilik sumberdaya (pemerintah) tidak mencerminkan nilai
yang sesungguhnya yang dapat diterima.
Benar-Salah atau Baik-Burukkah Sistem Pengelolaan
Hutan Alam Indonesia
Persoalan
etika bukan menyangkut salah atau benar akan tapi berkaitan dengan baik atau
buruk. Berbeda dengan etika, ilmu pengetahuan mengkaji tentang benar atau salah
terhadap suatu objek atau situasi.
Kebenaran ilmu pengetahuan bergantung pada waktu dan tempat. Tidak heran, jika penerapan ilmu pengelolaan
hutan pada waktu tertentu dianggap tidak tepat lagi, karena sistem yang
berkaitan dengan kehutanan selalu bersifat dinamis.
Sangat
berat untuk mengatakan bahwa pengelolaan hutan alam di Indonesia adalah benar
atau salah, meskipun faktanya terjadi deforestasi dan degradasi hutan. Kenyataannya, sampai saat ini kita belum
menemukan atau masih mencari resep
terbaik (panacea) terhadap pengelolaan
hutan di Indonesia, atau mungkin sebenarnya tidak ada resep yang tepat selain
selalu belajar secara sadar dan kontinyu dari kejadian masa lalu seperti yang
dinyatakan oleh Masher (1994) tentang pengelolaan adaptif.
Kerusakan
hutan alam di Indonesia terus terjadi. Ilmu kehutanan selalu mengalami koreksi
yang diikuti dengan perubahan sistem silkvikultur hutan dan manajemen hutan
alam. Sistem TPI selanjutnya diganti dengan sistem TPTI pada saat itu, namun tetap tidak mampu menahan laju
kerusakan hutan. Ilmu manajemen hutan
juga dicurigai merupakan sumber kesalahan yang menetapkan umur konsesi HPH 20
tahun sedangkan siklus tebangan 35 tahun. Pada akhirnya dicurigai adanya faktor lain yang lebih
signifikan pengaruhnnya terhadap kerusakan hutan. Penulis lebih cenderung
menyatakan bahwa sistem pengusahaan hutan yang dijalankan oleh HPH tidak
terjamah oleh ilmu pengetahuan kehutanan. Kalau demikian, ini mungkin bukan
persoalan salah atau benar terhadap pengelolaan tetapi menyangkut baik atau buruknya
etika pengelola hutan.
Berangkat
dari kejadian masa lalu, etika pengusahaan hutan khususnya hutan alam dengan
sistem TPTI yang dijalankan oleh HPH terjadi ketimpangan. Etika yang buruk dari pengusahaan hutan di Indonesia
adalah terjadinya over cutting sehingga stok hutan menjadi menurun. Kejadian
ini muncul karena pemerintah menyerahkan hutan alam untuk dikelola kepada
pengelola hutan yang tidak profesional (HPH) dalam pengelolaan hutan. Terlebih lagi,
praktek multi dijalankan oleh HPH dengan kontrol yang lemah dari pemilik
sumberdaya hutan menjadikan HPH bebas beraktivitas untuk meraih keuntungan yang
maksimal.
Apakah Etika Profesi
Rimbawan dalam Pengelolaan Hutan Negara berbeda dengan Pengelolaan Hutan Milik.
Pada prinsipnya etika
profesi rimbawan bukan hanya dibutuhkan dalam pengelolaan hutan milik tetapi
juga dibutuhkan dalam pengelolaan hutan
negara, sehingga tidak ada perbedaan dari sudut pandang etika. Etika
pengelolaan yang yang dicontohkan oleh Irland (2005) tentang praktik dua
kegiatan yang dilaksanakan oleh satu orang atau organisasi yang terjadi pada
hutan milik, mempunyai kesamaan praktik di negara kita. Hanya saja, kasus ini di Indonesia banyak
terjadi di hutan negara yang dijalankan oleh HPH.
Irland (2005)
menyarankan ketika praktek dua kegiatan yang dijalankan oleh satu organisasi,
maka pemilik hutan harus sadar bahwa pengusaha atau konsultan melakukan
kegiatan ganda yang bisa merugikan sehingga dibutuhkan kesepakatan dan
pengawasan yang ketat. Kejadiannya di
Indonesia, pemilik sumberdaya hutan (pemerintah) seakan tidak menyadari bahwa
pengusahaan hutan yang dijalankan oleh HPH merupakan praktik dua kegiatan atau
lebih yang dijalankan oleh satu. Ketidak
sadaran akan praktik ini dan lemahnya pengawasan menyebabkan kerugian dan
kerusakan hutan.
Pengelolaan hutan baik
pada hutan milik maupun hutan negara seyogyanya dilakukan oleh orang atau
organisasi yang profesional dan memiliki etika yang baik dalam pengelolaan
hutan. Peranan etika harus dijunjung
tinggi dalam pengelolaan hutan karena pengelolaan hutan berkaitan dengan
keberlangsungan kehidupan mahluk hidup dan mempunyai peluang kesalahan.
Profesi adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma serta memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1
butir 1 UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen)
Contoh praktik dua
kegiatan yang dilakukan oleh satu organisasi pada hutan milik seperti yang
dicontohkan Irland (2005) memang belum banyak terjadi di Indonesia. Hutan milik di Indonesia cenderung dimiiliki
oleh perorangan yang luasnya masih kecil. Pemilik hutan pada umumnya hanya
membutuhkan jasa dari konsultan (perusahaan) dalam bidang penebangan, sedangkan
inventarisasi potensi masih dilakukan
sendiri oleh pemilik hutan (bukan oleh pihak lain) karena jumlah yang ditebang
masih terbatas.
Sumber Bacaan:
Darusman D., 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor.
Irland L.C. 2005. “The ethics of forest
management.” Northern Woodlands, Summer, p. 9.www.northernwoodlands.org.
List P.C., 2000. Environmental Ethics and Forestry. Temple University Press. Philadephia.
Masher C., 1994.
Sustainable Forestry; Philisophy, Science adn Economics. St. Lucie
Press. Florida.
Langganan:
Postingan (Atom)