Rabu, 21 November 2012

Skala Pengkuran dan Angka Penting

Skala Pengukuran dan Angka Penting 
Oleh: Sudirman Dg. Massiri, S.Hut., M.Sc

I.     Pemahaman Data dan Informasi
Data adalah kumpulan kejadian yang diangkat  dari suatu kenyataan. Data adalah deskripsi tentang benda, kejadian, aktivitas, dan transaksi, yang tidak mempunyai makna atau tidak berpengaruh  secara langsung kepada pemakai Oleh karena itu, data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih memerlukan adanya suatu pengolahan. Wujud dari data dapat berupa nilai yang terformat, teks, citra, audio dan Vidio.
Data yang telah diolah disebut informasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Informasi merupakan hasil pengolahan dari sebuah model, formasi, organisasi, ataupun suatu perubahan bentuk dari data yang memiliki nilai tertentu, dan bisa digunakan untuk menambah pengetahuan bagi yang menerimanya. Dalam hal ini, data bisa dianggap sebagai obyek dan informasi adalah suatu subyek yang bermanfaat bagi penerimanya.
Contoh data dalam bidang kehutanan seperti data pengukuran diameter pohon, hasil pengukuran tinggi pohon. Bentuk lain dari data dapat berupa audio seperti hasil wawancara dengan masayarakat sekitar hutan yang direkam dalam tape recorder. Contoh bentuk data vidio dalam bidang kehutanan adalah hasil cuplikan vidio tentang perilaku satwa di hutan. Selain itu, citra satelit juga merupakan data. Semua contoh data di atas belum memberikan arti bagi penerimanya dan masih membutuhkan pengolahan.
Setelah melalui proses pengolahan berdasarkan tujuan tertentu, data tersebut dapat memberikan arti untuk menambah pengethuan bagi penerimanya. Data pengukuran diameter pohon dan tinggi pohon dapat memberikan informasi potensi volume pohon atau stok dalam suatu kawasan hutan.  Begitu juga data audio tentang wawancara masyarakat di sekitar hutan dapat diolah sehingga memberikan informasi tentang persepsi masyarakat terhadap hutan, tingkat ketergantungan masyarakat dengan hutan dan lain-lain. Data citra hanyalah merupakan gambar yang belum mempunyai arti. Akan tetapi setelah melalui proses pengolahan, data ini dapat memberikan informasi yang sangat bermanfaat seperti  informasi kondisi hutan, informasi kerusakan hutan, potensi tegakan, karbon, dan sebagainya. 
Terkadang untuk memperoleh sebuah informasi membutuhkan lebih dari satu data. Contohnya, informasi tentang potensi karbon dalam suatu kawasan hutan yang luas membutuhkan data citra dan  data diameter pohon. Data diameter yang diolah dalam persamaan allometrik yang tersedia, selanjutnya padukan dengan data citra akan menghasilkan informasi potensi karbon dalam kawasan hutan tersebut.
II.    Klasifikasi Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan aturan-aturan pemberian angka untuk berbagi objek sedemikian rupa sehingga obyek ini mewakili kualitas atribut. Terdapat empat skala pengukuran sebagai berikut:
a.     Skala Nominal
Merupakan salah satu jenis pengukuran di mana angka dikenakan untuk objek atau kelas objek untuk tujuan identifikasi. skala ini berfungsi untuk  mengelompokan data, tetapi tidak memiliki arti. Contoh di bidang kehutanan yakni petani hutan diberi angka 1, bukan petani hutan diberi angka 2. Contoh lain adalah perambah hutan diberi angka 1, bukan perambah diberi angka 2. Distribusi spasial vegetasi; acak = 1, mengelompok = 2, dan merata = 3.  Angka 2 tidak berarti lebih besar dari angka 1.
b.    Skala ordinal
Merupakan skala satu jenis pengukuran dimana angka dikenakan terhadap data berdasarkan urutan dari obyek. Skala ini memberi arti prioritas/peringkat/ranking. Jarak satu angka dengan angka lainnya mungkin tidak sama. Contoh data ordinal dalam bidang kehutanan adalah tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan; sangat berpartisipasi = 4, berpartisipasi  = 3, kurang berpartisipasi = 2, tidak berpartisipasi = 1.
c.    Skala Interval
Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka-angka yang dikenakan memungkinkan kita untuk membandingkan ukuran dari selisih antara angka-angka. Skala interval adalah skala yang jaraknya sama, tetapi tidak mempunhyai nilai nol absolut (mutlak). Nilai nol masih punya arti. Contoh di bidang kehutanan adalah pengukuran suhu di hutan, penentuan azimuth pohon dalam plot.
d.    Skala Rasio
Merupakan salah satu jenis pengukuran yang memiliki nol alamiah atau nol absolut. Pengukuran menggunakan skala ini bisa dibuat penjumlahan atau perkalian. Contoh skala ini di bidang kehutanan adalah pengukuran volume pohon, biomassa, karbon dan lain-lain.

III.    Angka Penting

Angka penting adalah semua angka yang diperoleh dari hasil pengukuran, terdiri atas angka-angka pasti dan angka angka terakhir yang ditaksir (angka taksiran). Angka pasti diperoleh dari penghitungan skala alat ukur, sedangkan angka taksiran diperoleh dari setengah skala terkecil. Sebagai contoh, pengukuran diamater semai adalah 17,5 mm.  Angka 17 diperoleh dari pengukuran skala yang disebut dengan angka pasti, sedangkan angka 0,5 diperoleh dari ½ mm atau kurang dari 1 mm merupakan angka taksiran.
Jika sebuah batang  panjangnya ditulis 18,4 centimeter. Secara umum panjang batang tersebut telah diukur sampai dengan perpuluhan centimeter dan nilai eksaknya terletak di antara 18,35 cm hingga 15,45 cm. Seandainya pengukuran panjang batang  tersebut dinyatakan sebagai 18,40 cm berarti pengukuran batang telah dilakukan hingga ketelitian ratusan centimeter. Pada 18,4 cm maka terdapat 3 angka yang penting sebagai hasil pengukuran. Pada pelaporan hasil pengukuran 18,40 cm berarti terdapat 4 angka yang penting sebagai hasil pengukuran.
Hasil pengolahan data tidak boleh lebih banyak angka pentingnya dibandingkan dengan hasi pengukuran. Ketelitian pengelohan data tidak boleh melebihi ketelitian pengukuran, seperti penggunaan 3 bahkan lebih angka penting setelah koma pada alat ukur mistar sementara skala pada mistar yang digunakan hanya sampai pada skala mm. Contoh kesalahan angka penting adalah hasil pengolahan data mendapatkan nilai 12,573 cm padahal skala minimal pada alat ukur yang digunakan adalah mm.
Aturan perkalian/pembagian angka penting
1. Perkalian/pembagian antar angka pasti dengan angka pasti hasilnya angka pasti.
2. Perkalian/pembagian antar angka pasti dengan taksiran hasilnya angka taksiran.
3. Hasil perkalian/pembagian angka penting hanya memuat satu angka taksiran.
Dengan ketentuan ini ternyata hasilnya memiliki angka penting yang jumlah angka penting sama dengan jumlah angka penting terkecil yang dikalikan.
Contoh :
- 2 angka penting x 5 angka penting = 2 angka penting
- 5 angka penting x 3 angka penting = 3 angka penting

Kelembagaan dan Lingkungan

Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat common-pool resources  (hutan, perikanan dan perairan) yang dilakukan oleh individu mempunyai potensi untuk mengurangi atau menghilangkan manfaat bagi yang lainnya.  Pemanenan kayu yang dilakukan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaan sumberdaya bagi yang lainnya. Untuk mewujudkan pengelolaan common-pool resources yang baik dan bekelanjutan dibutuhkan institusi. Kata  institusi merupakan aturan yang manusia gunakan ketika berinteraksi di dalam situasi berulang dan terstruktur di berbagai tingkat analisis (North, 2005; Ostrom, 2005).  Jika tidak ada institusi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, bisa terjadi overharvested atau pemanenan yang berlebihan dan bahkan kerusakan sumberdaya alam (FAO, 2005; Mullon et all., 2005; Myers dan Worm, 2003). 
Pemodelan Masalah Open Akses
Bagi Teoritist institusi, pengembangan model formal telah menjadi perangkat yang sangat penting untuk menganalisis permasalahan pemanenan yang berlebihan terhadap common-pool resources dan bagaimana mengatasi kerusakan sumberdaya tersebut.  Pada tahun 1954, Gordon telah memperkenalkan model perikanan yang merupakan model statis common-pool resources, digambarkan sebagai berikut.

Pada sumberdaya perikanan yang bersifat open akses, mendorong setiap nelayan untuk melakukan penigkatan investasi usaha pemanenan yang berlebihan sampai mencapai ekiulibrium bioeconomic yakni pada titik EOA. Titik ini sebenarnya tidak optimal lagi, dimana titik optimal dan berkelanjutan terletak pada titik EMY.


Gambar 1. Model Gordon Bioekonomi Perikanan : Clark (2006, hal 11)
Pada sumberdaya yang bersifat common-pool resources, seperti perikanan, kehutanan dan perairan yang bersifat open akses, pendapatan akan meningkat pada kondisi jumlah yang memanen tidak banyak (optimal), akan tetapi jika jumlah yang memanen bertambah dan berlebihan akan menyebabkan pendapatan akan menurun dan tidak berkelanjutan. Ini terjadi karena jumlah yang dipanen melebihi kapasitas produktivitas sumberdaya tersebut.  untuk itu dibutuhkan sebuah institusi yang mengatur pemanenan sumberdaya yang bersifat common-pool resources agar pendapatan dapat optimal dan berkelanjutan.
Merekomendasikan Kelembagaan yang optimal
Praktek pemanenan yang berkelanjutan yang digambarkan pada model Gordon, dapat dicapai melalui tiga aturan atau institusi.  Beberapa aturan yang direkomendasikan sebagai 'yang optimal' terhadap common-pool resources adalah kemilikan  pribadi (Demsetz, 1967; Raymond, 2003), kepemilikan pemerintah (Lovejoy, 2006; Terborgh, 1999, 2000), atau kontrol masyarakat (Vermillion dan Sagardoy, 1999).
Ketiga aturan yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya di berbagai daerah dapat berhasil mengatur pemanenan sumberdaya sehingga tidak terjadi overharvested. Beberapa contoh telah memperlihatkan pemanfaatan common- pool resources  untuk mencapai hasil jangka pendek yang lebih efisien dan berpotensi untuk mempertahankan sumber daya jangka panjang.
Beberapa contoh penerapan common-pool resources yang kuasai oleh private dapat mencegah kerusakan sumberdaya dan  menciptakan pendapatan yang berkelanjutan. Sistem monitoring yang efektif merupakan aspek yang sangat penting dalam menunjang pengelolaan common-pool resources yang dikelola oleh privat. 
Menurut Lavejoy (2006) dan Terborgh, (1999), kepemilikan lahan oleh pemerintah hanyalah merupakan  cara untuk menghasilkan konsevasi yang berkelanjutan sepanjang tahun.  Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh rimbawan secara independen terhadap hutan yang dimiliki oleh pemerintah dengan hutan yang dimiliki oleh privat dan comunal menunjukkan tidak adanya perbedaan secara siginfikan (Hayes, 2006; see also Gibson et al., 2005).  Ostrom and Nagendra (2006) justru menegaskan bahwa hutan yang dimiliki oleh pemerintah contohnya Mahananda Wildlife Sanctuary di bengal, India,  mampu mencegah deforestasi, tetapi menggunakan biaya administrasi yang tinggi dan menghadapi konflik yang besar dengan masyarakat lokal.
Common-pool resources yang dimiliki oleh komunal bukanlah merupakan panacea untuk mengatasi overharvestd, seperti halnya yang dimiliki oleh privat dan pemerintah.  Pengelolaan sumberdaya baik yang dikuasai oleh komunal mapun pemerintah dan privat semuanya mempunyai potensi yang efektif untuk mengurangi kerusakan, akan tetapi bergantung pada kondisi masing-masing.  Yang perlu disadari adalah tidak ada solusi yang sederhana dalam mengelola ekologi yang mempunyai komplesitas yang tinggi.

Dari Solusi Optimal  Menuju Tata Kelola Multi Level yang adaptif.
Sesungguhnya tidak ada aturan yang optimal yang dapat diterapkan pada bidang kehutanan, perikanan dan perairan. One-size fits-all solutions merupakan  sebuah kekeliruan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teori kelembagaan perlu mengenali kondisi ekologi, kompleksitas, sifat non-linier, selforganising dan aspek dinamis serta beberapa tujuan dan skala spasial dan temporal yang terjadi.Untuk mempelajari semua variabel itu, yang paling penting adalah melakukan berbagai eksperimen, belajar secara sadar dan adaptasi. Untuk dapat mempelajari sistem sumbedaya yang kompleks tersebut , dibutuhkan pendekatan model
Memikirkan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa kajian yang telah dilakukan secara berulang belum menemukan aturan yang spesifik untuk dapat diterapkan pada kegiatan di dalam common-pool resources yang lebih luas. Akan tetapi, hal yang pasti adalah bahwa tidak adanya aturan dan kontrol yang menjamin jumlah panen, waktu panen, dan teknologi yang digunakan merupakan sebuah gambaran kinerja yang buruk. 
Rancangan kelembagaan yang efektif tidak dapat dilakukan melalui pendekatan top down, akan tetapi melalui pendekatan eksperimen, menganalisis struktur common-pool resources dan perubahan struktur tersebut dari waktu ke waktu.
Melakukan Percobaan melalui Perubahan Peraturan
Kompleksitas lingkungan yang selalu berubah menuntut adanya perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan sesungguhnya merupakan sebuah percobaan yang didasarkan pada harapan atas manfaat yang potensial dan distribusi manfaat untuk partisipan melalui waktu dan ruang.
Suatu negara yang mempunyai wilayah yang luas dan tipe ekosistemnya beragam, tidak tepat untuk menerapkan satu (tunggal)  peraturan yang berhubungan dengan common-pool resources.  Peraturan bisa saja tepat di satu regional akan tetapi tidak efektif untuk yang lainnya. Perubahan kebijakan yang dilakukan secara sentralistik terkadang tidak tepat, karena subtansi masalah tidak terungkap secara benar. Perubahan kebijakan yang didasarkan atas kesalahan data tentang variabel kunci dan kesalahan asumsi tentang bagaimana aktor bereaksi dapat menimbulkan bencana.  Kita perlu memahami apa tingkat redundansi, tumpang tindih dan otonomi untuk membantu adaptasi aturan yang bekerja untuk sumber daya di bawah kondisi sosial-ekonomi tertentu. selanjutnya, kita perlu fokus pada bagaimana meningkatkan kekokohan lembaga-lembaga untuk gangguan yang beragam dari waktu ke waktu (Anderies et al, 2007; Janssen et al, 2007).

Rabu, 14 November 2012

Etika Pengelolaan Hutan



Sistem Pengelolaan Hutan Alam Indonesia berdasarkan Sudut Pandang Etika Profesi Rimbawan
Dasar pertimbangan pengelolaan hutan alam di indonesia lebih dominan didasari oleh pertimbangan politik dibandingkan dengan pertimbangan profesionalisme.  Kebijakan pertumbuhan ekonomi pada era orde baru pada masa itu merupakan landasan dalam mengelola hutan alam di negara kita.  Kehutanan mendapat beban dalam menopang perekonomian bangsa pada era itu. Menurut Darusman (2012) kehutanan menempati posisi ke dua setelah migas dalam memberikan konstribusi terhadap pembangunan.
Sejak dikeluarkan undang-undang pokok kehutanan Tahun 1967, sistem pengelolaan hutan alam di Indonesia khususnya di luar pulau Jawa mengalami outcome yang signifikan terhadap kerusakaan hutan.  Keputusan sistem pengelolaan hutan alam yang diserahkan ke pihak swasata ternyata tidak memberikan dampak positif terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, justru menjadi cela yang membuat hancurnya hutan di luar pulau jawa.
Pengelolaan hutan alam di Indonesia pada saat itu dilaksanakan oleh HPH.  Pemerintah, sebagai pemilik sumberdaya hutan memberikan kewenangan kepada HPH dalam mengelola hutan yang dibingkai dalam aturan TPTI. Kebijakan TPTI memberikan ruang kepada HPH untuk melaksanakan peran ganda atau bahkan peran  multi dalam pengelolaan hutan. Peran tersebut adalah inventarisasi pohon yang akan ditebang, penebangan, dan inventarisasi tegakan tinggal serta penebangan yang semuanya dilaksanakan oleh HPH dengan kontrol yang sangat terbatas dari pemilik sumberdaya hutan.
Peran multi yang dijalankan oleh HPH tersebut ternyata menimbulkan perilaku yang kurang baik dalam mengelola hutan.  Berdasarkan rasionalitas ekonominya, perusahaan berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal.  Jumlah pohon yang akan ditebang ditentukan oleh HPH melalui inventarisasi sementara pemilik sumberdaya hutan tidak mempunyai data yang akurat tentang jumlah sumberdaya yang dimiliki. AAC yang disusun sebagai acuan pada masa itu tidak dapat menggambarkan kondisi hutan secara menyeluruh.  Cela ini dimanfaatkan oleh HPH untuk menaikkan data potensi hutan yang akan ditebang.  Pada kegiatan inventarisasi tegakan tinggal, bisa menimbulkan perilaku tidak baik karena HPH dapat saja membuat laporan yang menyatakan bahwa potensi tegakan tinggal masih cukup tinggi. Kegiatan monitoring yang dilakukan oleh pemilik sumberdaya hutan (pemerintah) sangat terbatas dan pemerintah seolah meyakini kebenaran semua data yang dilakukan oleh HPH tersebut.
Peran multi yang diberikan kepada pihak swasta sebenarnya bukanlah sebuah masalah asalkan yang mengelola hutan adalah profesional kehutanan yang mempunyai etika yang baik dan komitmen membangun hutan, bukan hanya rasionalitas ekonomi.  Menurut List (2000) dikatakan profesional jika memiliki keahlian yang didasarkan atas pengetahuan teoritis dan spesialis, dapat teruji dan cakap. Tanpa pendidikan dasar yang mencukupi maka tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang profesional. Tetapi pendidikan dan pengetahuan dasar saja belum cukup untuk membentuk seseorang menjadi profesional, butuh waktu dan pengalaman serta pengetahuan akan komponen-komponen etika. Kelihatannya, HPH bukanlah organisasi profesional dalam pengelolaan hutan meskipun didalamnya terdapat rimbawan yang profesional tapi tidak berdaya. Kebijakan pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak swasta dalam mengelola hutan alam dianggap keliru jika yang diberikan kewenangan itu bukanlah organisasi profesional dalam pengelolaan hutan.  Profesionalisme yang digambarkan oleh List (2000) pada dasarnya membutuhkan tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola.  Kekeliruan dalam sistem pengelolaan hutan alam bukan terletak pada sistem pengelolaanya, akan tetapi terletak pada organisasi yang diberikan kewenangan mengelola  hutan bukanlah organisasi  profesional
Sekarang ini terdapat juga kebijakan Pemerintah (Dephut) mengenai larangan ekspor logs dan pengintegrasian pengusahaan hutan dengan industri pengolahan kayu. Seperti yang uraikan oleh Irland (2005) kebijakan ini merupakan praktek dua dalam satu.  Kebijakan ini bisa menghasikan perilaku tidak baik dalam pengelolaan karena bisa saja terjadi transfer harga dari HPH ke industri yang masih dalam lingkungan satu grup. Kebijakan ini bisa melahirkan struktur pasar monopsoni, yang membawa implikasi ketidakadilan harga, dimana harga sumberdaya (kayu) terlalu rendah. Pasar kayu bulat tidak transparan dan menimbulkan  perdagangan internal (internal trade) sehinga harga tidak mencerminkan harga yang sebenarnya yang ditentukan oleh mekanisme pasar.  Jika harga sumberdaya kayu rendah maka nilai yang diterima oleh pemilik sumberdaya (pemerintah) tidak mencerminkan nilai yang sesungguhnya yang dapat diterima.
Benar-Salah atau Baik-Burukkah Sistem Pengelolaan Hutan Alam Indonesia
Persoalan etika bukan menyangkut salah atau benar akan tapi berkaitan dengan baik atau buruk. Berbeda dengan etika, ilmu pengetahuan mengkaji tentang benar atau salah terhadap suatu objek atau situasi.  Kebenaran ilmu pengetahuan bergantung pada waktu dan tempat.  Tidak heran, jika penerapan ilmu pengelolaan hutan pada waktu tertentu dianggap tidak tepat lagi, karena sistem yang berkaitan dengan kehutanan selalu bersifat dinamis.
Sangat berat untuk mengatakan bahwa pengelolaan hutan alam di Indonesia adalah benar atau salah, meskipun faktanya terjadi deforestasi dan degradasi hutan.  Kenyataannya, sampai saat ini kita belum menemukan atau masih mencari  resep terbaik (panacea) terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, atau mungkin sebenarnya tidak ada resep yang tepat selain selalu belajar secara sadar dan kontinyu dari kejadian masa lalu seperti yang dinyatakan oleh Masher (1994) tentang pengelolaan adaptif. 
Kerusakan hutan alam di Indonesia terus terjadi. Ilmu kehutanan selalu mengalami koreksi yang diikuti dengan perubahan sistem silkvikultur hutan dan manajemen hutan alam. Sistem TPI selanjutnya diganti dengan sistem TPTI pada saat itu,  namun tetap tidak mampu menahan laju kerusakan hutan.  Ilmu manajemen hutan juga dicurigai merupakan sumber kesalahan yang menetapkan umur konsesi HPH 20 tahun sedangkan siklus tebangan 35 tahun. Pada akhirnya  dicurigai adanya faktor lain yang lebih signifikan pengaruhnnya terhadap kerusakan hutan. Penulis lebih cenderung menyatakan bahwa sistem pengusahaan hutan yang dijalankan oleh HPH tidak terjamah oleh ilmu pengetahuan kehutanan. Kalau demikian, ini mungkin bukan persoalan salah atau benar terhadap pengelolaan tetapi menyangkut baik atau buruknya etika pengelola hutan. 
Berangkat dari kejadian masa lalu, etika pengusahaan hutan khususnya hutan alam dengan sistem TPTI yang dijalankan oleh HPH terjadi ketimpangan.  Etika yang buruk dari pengusahaan hutan di Indonesia adalah terjadinya over cutting sehingga stok hutan menjadi menurun. Kejadian ini muncul karena pemerintah menyerahkan hutan alam untuk dikelola kepada pengelola hutan yang tidak profesional (HPH) dalam pengelolaan hutan. Terlebih lagi, praktek multi dijalankan oleh HPH dengan kontrol yang lemah dari pemilik sumberdaya hutan menjadikan HPH bebas beraktivitas untuk meraih keuntungan yang maksimal.
Apakah Etika Profesi Rimbawan dalam Pengelolaan Hutan Negara berbeda dengan Pengelolaan  Hutan Milik.
Pada prinsipnya etika profesi rimbawan bukan hanya dibutuhkan dalam pengelolaan hutan milik tetapi juga dibutuhkan  dalam pengelolaan hutan negara, sehingga tidak ada perbedaan dari sudut pandang etika. Etika pengelolaan yang yang dicontohkan oleh Irland (2005) tentang praktik dua kegiatan yang dilaksanakan oleh satu orang atau organisasi yang terjadi pada hutan milik, mempunyai kesamaan praktik di negara kita.  Hanya saja, kasus ini di Indonesia banyak terjadi di hutan negara yang dijalankan oleh HPH.
Irland (2005) menyarankan ketika praktek dua kegiatan yang dijalankan oleh satu organisasi, maka pemilik hutan harus sadar bahwa pengusaha atau konsultan melakukan kegiatan ganda yang bisa merugikan sehingga dibutuhkan kesepakatan dan pengawasan yang ketat.  Kejadiannya di Indonesia, pemilik sumberdaya hutan (pemerintah) seakan tidak menyadari bahwa pengusahaan hutan yang dijalankan oleh HPH merupakan praktik dua kegiatan atau lebih yang dijalankan oleh satu.  Ketidak sadaran akan praktik ini dan lemahnya pengawasan menyebabkan kerugian dan kerusakan hutan.   
Pengelolaan hutan baik pada hutan milik maupun hutan negara seyogyanya dilakukan oleh orang atau organisasi yang profesional dan memiliki etika yang baik dalam pengelolaan hutan.  Peranan etika harus dijunjung tinggi dalam pengelolaan hutan karena pengelolaan hutan berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan mahluk hidup dan mempunyai peluang kesalahan.
Profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma serta memerlukan pendidikan profesi (Pasal 1 butir 1 UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen)
Contoh praktik dua kegiatan yang dilakukan oleh satu organisasi pada hutan milik seperti yang dicontohkan Irland (2005) memang belum banyak terjadi di Indonesia.  Hutan milik di Indonesia cenderung dimiiliki oleh perorangan yang luasnya masih kecil. Pemilik hutan pada umumnya hanya membutuhkan jasa dari konsultan (perusahaan) dalam bidang penebangan, sedangkan inventarisasi potensi  masih dilakukan sendiri oleh pemilik hutan (bukan oleh pihak lain) karena jumlah yang ditebang masih terbatas.

Sumber Bacaan:
Darusman D., 2012.  Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia.  IPB Press. Bogor.  
Irland L.C. 2005. “The ethics of forest management.” Northern Woodlands, Summer, p. 9.www.northernwoodlands.org.     
List P.C., 2000.  Environmental Ethics and Forestry.  Temple University Press. Philadephia.
Masher C.,   1994.  Sustainable Forestry; Philisophy, Science adn Economics. St. Lucie Press. Florida.