Rabu, 06 Februari 2013

PELUANG KEBEREHASILAN SKEMA REDD+ DI PROVINSI SULAWESI TENGAH Sebuah Tinjauan Kelembagaan


Oleh: Sudirman Dg. Massiri, M.Sc
Fenomena
Kejadian Deforestasi dan degradasi hutan telah berlangungsung di Indonesia tidak terkecuali di provinsi Sulawesi tengah. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah serta masyarakat menyadari bahwa kejadian ini akan memberikan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan peningkataan gas rumah kaca di atmosfir.
Kejadian deforestasi di sulawesi tengah berupa konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kakao dan pertambangan yang sampai saat ini masih terus belangsung. Sedangkan kejadian degradasi hutan disebabkan oleh eksploitasi hutan yang berlebihan oleh HPH pada masa lalu, dan illegal loging. Luas hutan di Provinsi Sulawesi Tengah adalah 4.394.932 ha dengan tingkat rata-rata deforestasi sejak tahun 1985-1997 adalah 122.200 ha/tahun  dan periode tahun  2003-2008 adalah 118.774 ha/tahun (Dephut.go.id).  Deforestasi di Sulawesi tengah banyak terjadi di kawasan hutan produksi konversi dan areal penggunaan lain. Berbagai upaya yang telah dilakukan tidak mampu menekan laju deforestasi dan degradasi hutan, namun  sampai saat ini belum berhasil. Ada kecenderungan  kekuatan para pengusaha masih ampuh mempengaruhi pemerintah untuk membuat regulasi sehingga belakangan ini, banyak areal penggunaan lain (APL) yang masih berhutan dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit.  Di sisi lain, struktur pasar yang ditandai dengan meningkagkatnya komoditi pertanian mendorong para petani untuk melakukan perambahan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan kakao dan  karena kebutuhan kayu yang kian meningkat, kejadian illegal loging masih tetap berlangsung walaupun pemerintah daerah mencoba untuk mengatasinya.
Dengan adanya momentum usaha global untuk mengurangi perubahan iklim melalui skema REDD+ dijadikan pijakan pemerintah provinsi Sulawesi Tengah untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan.  Skema REDD+ merupakan skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan lestasi dan konservasi hutan.  Pada tahun 2010, pemerintah daerah Provinsi Sulawesi tengah terbuka untuk ikut dalam skema tersebut.  melalui skema REDD+ ini pemeritah manaruh harapan yang besar agar laju deforestasi dan degradasi hutan dapat ditekan.  

Kinerja
Sebagai tindak lanjut keseriuan pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dalam skema ini, pada tahun 2010 dibentuk kelompok kerja (POKJA REDD+) yang terdiri dari berbagai kalangan antara lain: Gubernur, dinas kehutanan, Bappeda, BLHD, Bapedalda, dinas pertanian, dinas pertambangan, BP DAS, BKSDA, Balai Taman nasional lore Lindu, Balai taman nasional Kepulauan Togean, LSM, lembaga Adat, dan perguruan tinggi.  Pokja REDD+ yang dibentuk ini bertujuan untuk mempersiapkan pemerintah untuk ikut dalam skema tersebut.  Dalam pokja ini terdiri atas empat sub pokja yakni sub pokja stratagi daerah, sub pokja MRV, Sub Pokja Demonstration activity dan sub pokja komunikasi dan FPIC. Pada akhir 2011 sub pokja telah menyusun dokumen strategi daerah (Strada), menetapkan lokasi DA dan menyebarluaskan informasi di kalangan masyarakat. Selanjutnya pada tahun 2012 ini, pokja MRV menyelenggarakan Inventarisasi karbon nasional dengan jumlah plot sebanyak 30 yang tersebar di seluruh wilayah provonsi. Selain di bentuk pokja REDD, pada tahun 2012 juga dibentuk Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah kaca (RAD GRK) yang beranggotakan instansi pemerintah dan tim pakar. Pokja ini juga merupakan upaya untuk mempersiapkan provinsi sulawesi tengah dalam skema REDD+
Skema REDD Merupakan Masalah Kelembagaan
-          Masalah Kelembagaan dalam Skema REDD
Skema REDD+ merupakan permasalahan kelembagaan karena menyangkut regulasi dalam bentuk strategi Daerah dan rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca yang akan diimplementasikan yang diharapkan  merubah perilaku individu terutama dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Dalam merespon regulasi tersebut, individu tentunya sudah mempunyai pola tertentu dan akan menerima untuk mengimplementasikan regulasi ini didasarkan pertimbangan rasionalitas.
Keberhasilan skema REDD+ di Sulawesi tengah juga bergantung pada institusi berupa aspek proprety Right, yang meliputi  basic of Right dan  Right of ownership. Rasionalitas stakeholders juga akan mempengaruhi keberhasilan implementasi skema REDD+. 
Penyebab Timbulnya masalah kelembagaan dalam skema REDD+
Selain akibat dorongan untuk menakan laju deforestasi dan degradasi hutan, alasan pemerintah menerima skema REDD+ adalah motiv untuk mendapatkan insentif, walaupun sebenarnya struktur pasar skema REDD+ belum terbentuk. Meskipun struktur pasarnya belum terbentuk, melalui sebuah jaringan yang terorganisir mampu mempengaruhi pengambil kebijakan untuk membuat regulasi tentang skema REDD+ yang diharapkan mempengaruhi perilaku individu. Regulasi tersebut adanya Dokumen Strategi Daerah dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Peluang keberhasilan skema REDD+ ditentukan oleh aktor yang terlibat dalam penyusunan skema REDD+ tersebut yang meliputi  karakteritik dan opini sktakeholder terhadap REDD+. Tingkat pengetahuan, kekuatan dan kepemimpinan, posisi mendukung, netral  atau menolak skema REDD+ dan rasionalias stakeholder. Berdasarkan pengamatan selama terlibat dalam pokja REDD+, tingkat pengetahuan dan posisi stakeholder terhadap REDD+ digambarkan pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Tingkat Pengetahuan dan Posisi Stakeholder Terhadap REDD+
Stakeholder
Tingkat Pengetahuan
Posisi
T
S
R
DK
N
TL
Instansi pemerintah






Pengusaha 






KPH






Masarakat Lokal, Masyarakat Adat






Perguruan Tinggi






LSM






Fasilitator Regional






T= Tinggi; S = Sedang; R = Rendah;  DK= Mendukung; N = Netral; TL Menolak
Table 2. Kepemimpinan dan kekuatan stakeholders terhadap REDD+ di Sulteng
Kekuatan (kekuasaan)
Kepemimpinan
Tinggi
Rendah
Tinggi
Dinas Kehutanan, Bappeda, Fasilitator Regional.
Pengusaha, KPH, 
Rendah
LSM
Masyarakat Lokal, masyarakat Adat, Perguruan Tinggi

Implementasi REDD+ ke depan akan menghadapi kendala poperty Right. Meskipun dokumen Strada telah terbentuk dan dokumen Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca  telah tersusun, para individu  yang memiliki Property akan bertindak secara rasional. Bisa saja individu yang memiliki Property merespon untuk bertindak berdasarkan rasionalitas ekonomis. Rasionalitas ekonomi adalah jika skema REDD+ dapat memberikan kepastian manfaat ekonomi lebih besar dibandingkan dengan apa manfaat ekonomi  selain skema REDD+ maka individu tersebut akan melaksanakan skema tersebut, jika tidak, maka individu tersebut akan menolak. Individu akan berperilaku berdasarkan pertimbangan Benerfit Cost Ratio.
Kejadian deforestasi dan degradasi hutan kaitannya dengan Property Right di Sulawesi Tengah dapat dijadikan pijakan dalam menyusun rencana aksi dalam skema REDD+, disajikan pada Tabel 3 berikut ini.


Tabel 3.  Peluang Deforestasi dan Degradasi hutan berdasarkan Property Right
Proprerty Right
Peluang Deforestasi dan Degradasi Hutan
Tinggi
Sedang
Rendah
Basic of Right



-          De jure



-          De facto



Right of Ownership



-          Public Good



-          Common Good



-          Private Good




-          Strategi Implementasi Skema REDD+ Melalui Pendekatan kelembagaan
Sumberdaya lahan yang bersifat common good  mempunyai peluang deforestasi dan Degradasi hutan yang rendah. Berbeda dengan Public good ataupun private good.  Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Taman Hutan Raya Palu, Suaka Alam Bangkiriang dan kawasan hutan produksi eks HPH, APL yang merupakan public good cenderung mengalami deforestasi dan degradasi hutan. Begitu juga dengan private good, Jika individu memiliki sertifikat ataupun surat kepemilikan tanah, ada kecenderungan untuk menjual lahan tersebut  yang tujuannya untuk non kehutanan.
Private good atau sumberdaya yang dikuasai oleh perusahaan atau individu cenderung berperilaku berdasarkan rasionalitas ekonomis. Pengusaha yang mengembangkan perkebunan sawit, HTI, perkebunan karet dan kakao serta pertambangan  berupaya untuk meningkatkan pendapatannya.  Mereka akan terlibat dalam skema ini jika mempunyai  opprtunity cost yang lebih tinggi. Harga karbon akan mempengaruhi private untuk ikut dalam skema ini.
Sumberdaya hutan yang dikuasai oleh komunal mempunyai peluang yang  efektif mendukung keberhasilan skema REDD+. Hutan Adat ataupun hutan yang dikuasai secara komunal seperti hutan adat ngata Toro cenderung mempertahankan hutannya agar tidak terdegradasi dan terdeforestasi.  Adanya aturan adat yang mengatur secara normatif dan melekat dalam budaya menyebabkan mereka cenderung preventif.  Tanpa adanya skema inipun mereka tetap mempertahankan hutannya.
 Posisi masyarakat adat yang mendukung Skema REDD+, namun pengetahuan  mereka yang masih rendah  membutuhkan upaya peningkatan kapasitas yang melibatkan stakeholders yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang REDD+. Keterlibatan dan perguruan tinggi dan pemerintah harus bersinergi menguatkan pengetahuan masyarakat adat atau masyarakat lokal tentang REDD+ tersebut.