Oleh: Sudirman Dg. Massiri, M.Sc
Fenomena
Kejadian
Deforestasi dan degradasi hutan telah berlangungsung di Indonesia tidak
terkecuali di provinsi Sulawesi tengah. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah serta masyarakat menyadari bahwa kejadian ini akan memberikan dampak
negatif seperti banjir, kekeringan dan peningkataan gas rumah kaca di atmosfir.
Kejadian
deforestasi di sulawesi tengah berupa konversi lahan hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit, perkebunan kakao dan pertambangan yang sampai saat ini masih
terus belangsung. Sedangkan kejadian degradasi hutan disebabkan oleh eksploitasi
hutan yang berlebihan oleh HPH pada masa lalu, dan illegal loging. Luas hutan
di Provinsi Sulawesi Tengah adalah 4.394.932 ha dengan tingkat rata-rata deforestasi
sejak tahun 1985-1997 adalah 122.200 ha/tahun
dan periode tahun 2003-2008
adalah 118.774 ha/tahun (Dephut.go.id). Deforestasi di Sulawesi tengah banyak terjadi
di kawasan hutan produksi konversi dan areal penggunaan lain. Berbagai upaya yang
telah dilakukan tidak mampu menekan laju deforestasi dan degradasi hutan,
namun sampai saat ini belum berhasil.
Ada kecenderungan kekuatan para
pengusaha masih ampuh mempengaruhi pemerintah untuk membuat regulasi sehingga
belakangan ini, banyak areal penggunaan lain (APL) yang masih berhutan
dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit.
Di sisi lain, struktur pasar yang ditandai dengan meningkagkatnya
komoditi pertanian mendorong para petani untuk melakukan perambahan hutan untuk
pembukaan lahan perkebunan kakao dan karena
kebutuhan kayu yang kian meningkat, kejadian illegal loging masih tetap
berlangsung walaupun pemerintah daerah mencoba untuk mengatasinya.
Dengan adanya
momentum usaha global untuk mengurangi perubahan iklim melalui skema REDD+
dijadikan pijakan pemerintah provinsi Sulawesi Tengah untuk mengatasi
deforestasi dan degradasi hutan. Skema REDD+
merupakan skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan,
peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan lestasi dan konservasi hutan. Pada tahun 2010, pemerintah daerah Provinsi
Sulawesi tengah terbuka untuk ikut dalam skema tersebut. melalui skema REDD+ ini pemeritah
manaruh harapan yang besar agar laju deforestasi dan degradasi hutan dapat
ditekan.
Kinerja
Sebagai tindak
lanjut keseriuan pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dalam skema ini,
pada tahun 2010 dibentuk kelompok kerja (POKJA REDD+) yang terdiri
dari berbagai kalangan antara lain: Gubernur, dinas kehutanan, Bappeda, BLHD,
Bapedalda, dinas pertanian, dinas pertambangan, BP DAS, BKSDA, Balai Taman
nasional lore Lindu, Balai taman nasional Kepulauan Togean, LSM, lembaga Adat,
dan perguruan tinggi. Pokja REDD+
yang dibentuk ini bertujuan untuk mempersiapkan pemerintah untuk ikut dalam
skema tersebut. Dalam pokja ini terdiri
atas empat sub pokja yakni sub pokja stratagi daerah, sub pokja MRV, Sub Pokja Demonstration activity dan sub pokja
komunikasi dan FPIC. Pada akhir 2011 sub pokja telah menyusun dokumen strategi
daerah (Strada), menetapkan lokasi DA dan menyebarluaskan informasi di kalangan
masyarakat. Selanjutnya pada tahun 2012 ini, pokja MRV menyelenggarakan
Inventarisasi karbon nasional dengan jumlah plot sebanyak 30 yang tersebar di
seluruh wilayah provonsi. Selain di bentuk pokja REDD, pada tahun 2012 juga
dibentuk Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah kaca (RAD GRK) yang
beranggotakan instansi pemerintah dan tim pakar. Pokja ini juga merupakan upaya
untuk mempersiapkan provinsi sulawesi tengah dalam skema REDD+
Skema REDD Merupakan
Masalah Kelembagaan
-
Masalah
Kelembagaan dalam Skema REDD
Skema REDD+ merupakan permasalahan
kelembagaan karena menyangkut regulasi dalam bentuk strategi Daerah dan rencana
aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca yang akan diimplementasikan yang
diharapkan merubah perilaku individu
terutama dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Dalam merespon regulasi tersebut,
individu tentunya sudah mempunyai pola tertentu dan akan menerima untuk
mengimplementasikan regulasi ini didasarkan pertimbangan rasionalitas.
Keberhasilan skema REDD+ di
Sulawesi tengah juga bergantung pada institusi berupa aspek proprety Right, yang meliputi basic
of Right dan Right of ownership. Rasionalitas
stakeholders juga akan mempengaruhi keberhasilan implementasi skema REDD+.
Penyebab
Timbulnya masalah kelembagaan dalam skema REDD+
Selain akibat
dorongan untuk menakan laju deforestasi dan degradasi hutan, alasan pemerintah
menerima skema REDD+ adalah motiv untuk mendapatkan insentif,
walaupun sebenarnya struktur pasar skema REDD+ belum terbentuk.
Meskipun struktur pasarnya belum terbentuk, melalui sebuah jaringan yang
terorganisir mampu mempengaruhi pengambil kebijakan untuk membuat regulasi
tentang skema REDD+ yang diharapkan mempengaruhi perilaku individu.
Regulasi tersebut adanya Dokumen Strategi Daerah dan Rencana Aksi Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Peluang
keberhasilan skema REDD+ ditentukan oleh aktor yang terlibat dalam
penyusunan skema REDD+ tersebut yang meliputi karakteritik dan opini sktakeholder terhadap REDD+.
Tingkat pengetahuan, kekuatan dan kepemimpinan, posisi mendukung, netral atau menolak skema REDD+ dan
rasionalias stakeholder. Berdasarkan pengamatan selama terlibat dalam pokja REDD+,
tingkat pengetahuan dan posisi stakeholder terhadap REDD+ digambarkan
pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Tingkat Pengetahuan dan
Posisi Stakeholder Terhadap REDD+
Stakeholder
|
Tingkat
Pengetahuan
|
Posisi
|
||||
T
|
S
|
R
|
DK
|
N
|
TL
|
|
Instansi pemerintah
|
|
|
|
|
|
|
Pengusaha
|
|
|
|
|
|
|
KPH
|
|
|
|
|
|
|
Masarakat Lokal, Masyarakat
Adat
|
|
|
|
|
|
|
Perguruan Tinggi
|
|
|
|
|
|
|
LSM
|
|
|
|
|
|
|
Fasilitator Regional
|
|
|
|
|
|
|
T= Tinggi; S = Sedang; R =
Rendah; DK= Mendukung; N = Netral; TL
Menolak
Table
2. Kepemimpinan dan kekuatan stakeholders terhadap REDD+ di Sulteng
Kekuatan (kekuasaan)
|
Kepemimpinan
|
|
Tinggi
|
Rendah
|
|
Tinggi
|
Dinas Kehutanan, Bappeda, Fasilitator Regional.
|
Pengusaha, KPH,
|
Rendah
|
LSM
|
Masyarakat Lokal, masyarakat Adat, Perguruan
Tinggi
|
Implementasi
REDD+ ke depan akan menghadapi kendala poperty Right. Meskipun dokumen Strada telah terbentuk dan dokumen
Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca telah
tersusun, para individu yang memiliki Property akan bertindak secara rasional.
Bisa saja individu yang memiliki Property
merespon untuk bertindak berdasarkan rasionalitas ekonomis. Rasionalitas
ekonomi adalah jika skema REDD+ dapat memberikan kepastian manfaat
ekonomi lebih besar dibandingkan dengan apa manfaat ekonomi selain skema REDD+ maka individu
tersebut akan melaksanakan skema tersebut, jika tidak, maka individu tersebut
akan menolak. Individu akan berperilaku berdasarkan pertimbangan Benerfit Cost
Ratio.
Kejadian
deforestasi dan degradasi hutan kaitannya dengan Property Right di
Sulawesi Tengah dapat dijadikan pijakan dalam menyusun rencana aksi dalam skema
REDD+, disajikan pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Peluang Deforestasi dan Degradasi hutan
berdasarkan Property Right
Proprerty Right
|
Peluang Deforestasi dan Degradasi
Hutan
|
||
Tinggi
|
Sedang
|
Rendah
|
|
Basic
of Right
|
|
|
|
-
De jure
|
|
|
|
-
De facto
|
|
|
|
Right of Ownership
|
|
|
|
-
Public Good
|
|
|
|
-
Common Good
|
|
|
|
-
Private Good
|
|
|
|
-
Strategi
Implementasi Skema REDD+ Melalui Pendekatan kelembagaan
Sumberdaya lahan yang bersifat common
good mempunyai peluang deforestasi dan
Degradasi hutan yang rendah. Berbeda dengan Public good ataupun private
good. Kawasan Taman Nasional Lore Lindu,
Taman Hutan Raya Palu, Suaka Alam Bangkiriang dan kawasan hutan produksi eks
HPH, APL yang merupakan public good cenderung mengalami deforestasi dan
degradasi hutan. Begitu juga dengan private good, Jika individu memiliki sertifikat
ataupun surat kepemilikan tanah, ada kecenderungan untuk menjual lahan
tersebut yang tujuannya untuk non
kehutanan.
Private good atau sumberdaya yang
dikuasai oleh perusahaan atau individu cenderung berperilaku berdasarkan
rasionalitas ekonomis. Pengusaha yang mengembangkan perkebunan sawit, HTI,
perkebunan karet dan kakao serta pertambangan
berupaya untuk meningkatkan pendapatannya. Mereka akan terlibat dalam skema ini jika
mempunyai opprtunity cost yang lebih tinggi. Harga karbon akan mempengaruhi
private untuk ikut dalam skema ini.
Sumberdaya hutan yang dikuasai oleh
komunal mempunyai peluang yang efektif
mendukung keberhasilan skema REDD+. Hutan Adat ataupun hutan yang
dikuasai secara komunal seperti hutan adat ngata Toro cenderung mempertahankan
hutannya agar tidak terdegradasi dan terdeforestasi. Adanya aturan adat yang mengatur secara
normatif dan melekat dalam budaya menyebabkan mereka cenderung preventif. Tanpa adanya skema inipun mereka tetap
mempertahankan hutannya.
Posisi
masyarakat adat yang mendukung Skema REDD+, namun pengetahuan mereka yang masih rendah membutuhkan upaya peningkatan kapasitas yang
melibatkan stakeholders yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang REDD+.
Keterlibatan dan perguruan tinggi dan pemerintah harus bersinergi menguatkan
pengetahuan masyarakat adat atau masyarakat lokal tentang REDD+
tersebut.