Oleh
Sudirman Dg. Massiri
Saya sering mendengar orang yang
mengucapkan “lakukan hal ini, karena banyak pahalanya”. lalu pertanyaanya,
apakah pahala itu yang menentukan kita akan masuk surga..?. tapi saya juga
mendengar para orang alim mengucapkan bahwa orang yang masuk surga itu karena
Rahmat-NYa. Allah,. Lalu kelau begitu, apa itu pahala.. ?. silahkan definisikan masing-masing.
Saya lebih cenderung mendefinisikan
pahala itu sebagai insentif atau dorongan untuk berbuat kebaikan. Kalau begitu,
apakah pahala itu nanti diperoleh di akhirat. Jawabnya, pasti. Itu sudah
dijamin dalam Alqur’an. Namun masalahnya
bukan di situ. Masalahnya adalah perlukah insentif atau dorongan (pahala) bagi
seseorang untuk berbuat kebaikan, atau bahkan behitung-hitungan dengan pahala
itu?. Kalau pahala itu merupakan dorongan, saya mau ibaratkan seperti anak
kecil dengan permen. Supaya anak itu berbuat kebaikan, memberikan atau
mengiming-imingi permen, sangat ampuh untuk mendorongnya berbuat baik. Kelihatannya, tujuan anak-anak adalah
mendapatkan permen. Ingat logikanya adalah permen ibarat pahala, karena itu
adalah dorongan untuk kebaikan. Tujuan orang
tua memberikan permen adalah supaya anak itu berbuat baik, atau tidak nakal. ini sama dengan tujuan Allah menjanjikan
pahala adalah supaya kita berbuat kebaikan.
Tapi apakah kita mau seperti anak itu, yang selalu mencari permen. Tujuan
hidup bukanlah hanya sebatas permen atau pahalah. Tujuaan kita adalah berbuat
kebaikan atas dasar cinta kepada Allah.
Berbuat atas dasar cinta, tentu berbeda
perilakunya berbuat atas dasar pahala. Cinta
selalu membutuhkan pujian, sanjungan. Coba
kita periksa makna sholat. Di dalamnya lebih banyak pujian. Memuji Allah, yang
maha pengasih dan penyayang. Pada saat takbiratul ihram, bukankah itu pujian,
bahwa Allah itu maha besar. Pada saat rukuk, memujinya bahwa Dia maha suci nan
Agung, setelah itu memujinya lagi bahwa pujian itu hanya pantas Pada-Nya. Pada saat
sujud kita memujinya lagi bahwa mahasuci Allah, Tuhanku yang maha tinggi. Saya lebih memaknai bahwa Allah menciptakan
hambanya supaya memujinya, yang dalam Alqur’an dikatakan mengabdi. Allah maha
kaya, itu sudah pasti. Orang yang titipi kekayaan saja, yang hartanya melimpah
sangat membutuhkan pengakuan dan pujian. Sholat itu adalah pujian dan pengakuan
yang juga di dalamnya ada permohonan.
So, kalau kita betul mencintai Allah,
pantaskah kita berhitung-hitungan dengannya, atau berhitung pahala. Adakah
rujukan yang menyatakan bahwa para Nabi-nabi melakukan hitung-hitungan pahala dengan
Tuhan. Saya kira tidak ada. Tapi, itukan ada dalam alqur’an, bahwa perbuatan
baik akan mendapat pahala. Sekali lagi, itu benar, tapi maknanya bukan sebagai tujuan,
tetapi sebagai pendorong/insentif agar kita berbuat kebaikan saya mau ilustrasikan lagi seperti ini, Orang
tua yang mengerti tugasnya tidak butuh lagi dorongan berupa permen atau apapun
itu untuk selalu membersihkan kamar dan merapikan tempat tidurnya. Yang butuh
itu, biasanya anak-anak. Biasanya kita ancam dengan memukulnya kalau tidak
membersihkan kamarnya. Mengancam memukul itu diibaratkan sebagai dosa. Dosa itu
adalah disinsentif. Apakah itu ada?, ya.. pasti hukumnya. Persoalanya adalah perlukah kita permen atau
ancaman pukulan agar kamar itu rapi?. Saya pikir, Orang tua tidak butuh itu
lagi.
Coba kita lihat suami istri yang saling
mencintai. Pasti tidak ada hitung-hitungan di antara mereka, yang ada adalah
pujian-pujian, dan keikhlasan untuk memberi. Perilakunya sangat indah, laksana sepasang
burung merpati. Kalau suami istri itu
masih hitung-hitungan, barangkali patut diperiksa masing-masing tentang
cintanya.
Finally,.berbuat atas dasar kecintaan kepada Allah, lebih baik dibandingkan berbuat atas dasar pahala. Meskipun begitu, saya tidak menyatakan bahwa berbuat atas dasar pahala itu salah, tetapi lebih arif jika kita tempatkan pahala itu sebagai dorongan/insentif. ini adalah hasil renungan pribadi. silahkan kalau ada yang berbeda dan ingatkan saya kalau keliru.