Oleh Sudirman Dg. Massiri, S.Hut., M.Sc
No KPH no budget,
itulah jargon heboh di kementerian kehutanan yang didukung oleh BAPPENAS
sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan hutan yang lestari. Komitmen Kementerian
Kehutanan akan menargetkan untuk membangun sebanyak 600 unit KPH di seluruh
indonesia dan khusus di Provinsi
Sulawesi Tengah direncanakan dibentuk sebanyak 21 unit. Namun hingga tahun 2014 jumlah KPH yang terbentuk
adalah 120 unit dan di Provinsi Sulawesi tengah, khususnya, hingga mei 2014
baru terbentuk 7 unit KPH.
KPH
yang merupakan singkatan dari kesatuan pengelolaan hutan adalah organisasi
pengelola hutan di tingkat tapak yang betanggung jawab terhadap kelestarian
hutan di wilayah kerjanya. Munculnya gagasan KPH didasari atas kesadaran bahwa selama
ini kawasan hutan di luar pulau jawa sebagian besar tidak memiliki organisasi
pengelolaan. Dinas Kehutanan yang selama ini merungurus hutan bukanlah
organisasi pengelola hutan akan tetapi sebagai organisiasi yang melaksanakan
fungsi administrasi kehutanan. Beda dengan KPH sebagai organisasi yang
melaksanakan perencanaan, pengelolaan, bahkan sampai melakukan monitoring dan
pengendalian hutan.
Sebenarnnya
konsep KPH bukanlah konsep baru dalam pengelolaan hutan. Konsep ini telah lama
dikembangkan oleh belanda di indonesia pada pengelolaan hutan di pulau jawa
yang kenal dengan houtvesterij dan
sekarang ini diteruskan oleh perhutani.
Point pentingnya adalah ternyata butuh waktu setengah abad bagi kita untuk
menerima dan menjalankan konsep itu, padahal belanda sudah terbukti sukses
membangun hutan jati di pulau jawa yang masih dinikmati oleh perhutani saaat
ini.
Isu
kritis yang akan dihadapi KPH bukan terletak pada proses pembentukan, akan
tetapi terletak pada isu kemandirian dan keberlanjutan. Jargon “no KPH no budget” saat ini digelontorkan
oleh Kementerian kehutanan, jangan sampai terbalik ke depannya dengan jargon “ no
budget no KPH”. Maksudnya adalah jangan sampai tidak ada dana lagi maka
tidak ada program KPH sehingga cita-cita mulia untuk mewujudkan hutan lestari
tidak tercapai. Situasi itu akan terjadi manakala organisasi KPH yang dibentuk
itu tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi –fungsi manajemen dalam
pengelolaan hutan.
Ada
dua instrumen yang perlu mendapat perhatian penting dalam KPH yakni instrumen
untuk mengontrol kelestarian hasil dan ekosistem hutan dan instrumen untuk
mengontrol kelestarian usaha atau bisnis kehutanan. penetapan wilayah dan luas
KPH merupakan hal penting untuk dipertimbangkan
bagi 1 unit KPH untuk mengontrol kelestarian ekosistem dan menjamin
kelestarian usaha atau bisnis. Kelestarian hasil atau ekosistem hutan akan
tercapai jika ditopang oleh kelestarian usaha atau bisnis kehutanan. Dapat dipastikan bahwa tanpa adanya usaha dan
bisnis kehutanan yang berkelanjutan dalam KPH maka organisasi ini tidak mampu
membiayai dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen dalam pengelolaan hutan.
Dengan begitu, mutlak diperlukan SDM yang memiliki kapasitas untuk menjalankan
usaha atau bisnis kehutanan yang berkelanjutan sehingga tidak bergantung pada
dana dari kementerian kehutanan.
Persoalan
lain yang dihadapi KPH adalah wilayah KPH yang ditetapkan bukanlah kertas
kosong yang bebas dari konflik dan klaim dari berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap pengelolaan hutan. Wilayah KPH sebagian besar telah
dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik dalam bentuk ijin pemanfaatan hasil hutan
maupun telah diokupasi oleh masyarakat. Degan begitu, diperlukan kepastian hak
dan akses bagi para pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya hutan di
wilayah KPH dan membangun kemitraan bagi pihak-pihak tersebut.