Selasa, 20 Mei 2014

KPH, Solusi bagi kelestarian hutan?

Oleh Sudirman Dg. Massiri, S.Hut., M.Sc

No KPH no budget, itulah jargon heboh di kementerian kehutanan yang didukung oleh BAPPENAS sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan hutan yang lestari. Komitmen Kementerian Kehutanan akan menargetkan untuk membangun sebanyak 600 unit KPH di seluruh indonesia dan   khusus di Provinsi Sulawesi Tengah direncanakan dibentuk sebanyak 21 unit. Namun  hingga tahun 2014 jumlah KPH yang terbentuk adalah 120 unit dan di Provinsi Sulawesi tengah, khususnya, hingga mei 2014 baru terbentuk 7 unit KPH.
KPH yang merupakan singkatan dari kesatuan pengelolaan hutan adalah organisasi pengelola hutan di tingkat tapak yang betanggung jawab terhadap kelestarian hutan di wilayah kerjanya. Munculnya gagasan KPH didasari atas kesadaran bahwa selama ini kawasan hutan di luar pulau jawa sebagian besar tidak memiliki organisasi pengelolaan. Dinas Kehutanan yang selama ini merungurus hutan bukanlah organisasi pengelola hutan akan tetapi sebagai organisiasi yang melaksanakan fungsi administrasi kehutanan. Beda dengan KPH sebagai organisasi yang melaksanakan perencanaan, pengelolaan, bahkan sampai melakukan monitoring dan pengendalian hutan.
Sebenarnnya konsep KPH bukanlah konsep baru dalam pengelolaan hutan. Konsep ini telah lama dikembangkan oleh belanda di indonesia pada pengelolaan hutan di pulau jawa yang kenal dengan houtvesterij dan sekarang ini diteruskan oleh perhutani.  Point pentingnya adalah ternyata butuh waktu setengah abad bagi kita untuk menerima dan menjalankan konsep itu, padahal belanda sudah terbukti sukses membangun hutan jati di pulau jawa yang masih dinikmati oleh perhutani saaat ini.
Isu kritis yang akan dihadapi KPH bukan terletak pada proses pembentukan, akan tetapi terletak pada isu kemandirian dan keberlanjutan. Jargon “no KPH no budget” saat ini digelontorkan oleh Kementerian kehutanan, jangan sampai terbalik ke depannya dengan jargon  no budget no KPH”. Maksudnya adalah jangan sampai tidak ada dana lagi maka tidak ada program KPH sehingga cita-cita mulia untuk mewujudkan hutan lestari tidak tercapai. Situasi itu akan terjadi manakala organisasi KPH yang dibentuk itu tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi –fungsi manajemen dalam pengelolaan hutan.
Ada dua instrumen yang perlu mendapat perhatian penting dalam KPH yakni instrumen untuk mengontrol kelestarian hasil dan ekosistem hutan dan instrumen untuk mengontrol kelestarian usaha atau bisnis kehutanan. penetapan wilayah dan luas KPH merupakan hal penting untuk dipertimbangkan  bagi 1 unit KPH untuk mengontrol kelestarian ekosistem dan menjamin kelestarian usaha atau bisnis. Kelestarian hasil atau ekosistem hutan akan tercapai jika ditopang oleh kelestarian usaha atau bisnis kehutanan.  Dapat dipastikan bahwa tanpa adanya usaha dan bisnis kehutanan yang berkelanjutan dalam KPH maka organisasi ini tidak mampu membiayai dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen dalam pengelolaan hutan. Dengan begitu, mutlak diperlukan SDM yang memiliki kapasitas untuk menjalankan usaha atau bisnis kehutanan yang berkelanjutan sehingga tidak bergantung pada dana dari kementerian kehutanan. 
Persoalan lain yang dihadapi KPH adalah wilayah KPH yang ditetapkan bukanlah kertas kosong yang bebas dari konflik dan klaim dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan hutan. Wilayah KPH sebagian besar telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik dalam bentuk ijin pemanfaatan hasil hutan maupun telah diokupasi oleh masyarakat. Degan begitu, diperlukan kepastian hak dan akses bagi para pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya hutan di wilayah KPH dan membangun kemitraan bagi pihak-pihak tersebut.