Jumat, 07 November 2014

TINJAUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG



Oleh: Sudirman Dg. Massiri

I.             PENDAHULUAN
Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan lindung adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.  Kenyataannya, kawasan lindung tidak dalam kondisi baik sehingga fungsinyapun tidak optimal justru menimbulkan bencana. Ini terjadi karena kejadian degradasi dan deforestasi pada hutan lindung mesih terus meningkat, apalagi pada erah otonomi daerah.
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang tertuang dalam PP No 38 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah belum memberikan peluang yang positif terhadap kelestarian hutan lindung.  Pemerintah kabupaten/ kota seolah – olah tidak bersemangat menerima wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat, dengan anggapan bahwa hutan lindung tidak memberikan nilai ekonomi terutama penadapatan di daerahnya. Justru yang terlihat bahwa hutan lindung menjadi beban bagi pemerintah daerah, sehingga kehadirannya seolah olah tidak diharapkan.
Indonesia memiliki kawasaan hutan lindung seluas 32, 43 juta ha dari luas total kawasan hutan 130,85 juta hektar. Akan tetapi, itu selalu mengalami deforestasi hingga menduduki deforestasi peringkat ke tiga, setelah kawasan  hutan produksi dan  dan areal pengggunaan Lain. Pada periode tahun 2000 – 2009 deforestasi di hutan lindung mencapai 2,01 juta ha (Sumargo, et al., 2011). Kejadian deforerstasi pada hutan lindung disebabkan oleh aktivitas perambahan oleh masyarakat, konversi menjadi lahan pertanian, dan kegiatan pertambangan.
Kejadian deforestasi tersebut sebenarnya dipahami dengan jelas oleh Pemda, akan tetapi Pemda belum mempunyai keinginan dan kemampuan untuk mencegah dari kerusakan, sehingga seolah tutup mata terhadap keadaan tersebut.  Pengelolaan hutan lindung menyebabkan biaya yang cukup tinggi (high exclusion cost).  Jika Pemda melakukan kegiatan menghalangi masyarakat untuk merambah dan berkebun dalam kawasan hutan memerlukan biaya yang cukup tinggi, apalagi kapasitas yang mereka miliki sangat terbatas, sehingga hutan lindung hanyalah merupakan gugus kosong.  Biaya untuk mencegah dari kerusakan lebih besar dari manfaat yang diterima oleh Pemda. Akibatnya, pengelolaan hutan lindung menjadi open akses. Menurut Ostrom (2008) kepemilikan yang bersifat open akses mengancam sumberdaya tersebut menjadi over eksploitasi.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan fungsi hutan lindung adalah melakukan rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan Gerhan dan HKm. Faktanya, kegiatan ini juga belum menunjukkan hasil yang optimal. Kegagalan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di hutan lindung  bukan hanya disebabkan oleh faktor fisik dan iklim akan tetapi juga terkait dengan faktor kelembagaan. Menjadi sangat berat mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi di dalam hutan lindung, jika tidak adanya jaminan bahwa dialah  yang akan menerima manfaat dari kegiatan itu. Ini terkait dengan rejim property right.
Tulisan ini akan menguraikan tentang karakteristik hutan lindung dan institusi pengelolaan hutan lindung yang merupakan faktor eksogen yang menentukan kinerja pengelolaan hutan lindung.  Pada akhirnya tulisan ini akan mencoba untuk menemukan bentuk pengelolaan hutan lindung yang efektif dan efisien.
II.             Memahami Karakteristik Hutan Lindung
Sifat pertama karakteristik sumberdaya hutan lindung merupakan kategori sumberdaya yang bersifat Common Pool Resources (CPRS).  Sifat CPRs adalah sangat sulit mengeluarkan orang-orang untuk memanfaatkan  sumberdaya tesebut dan penggunaanya akan mengurangi kesempatan pihak lain untuk memanfaatkan (Hess and Ostrom, 1987).  Fungsi utama hutan lindung adalah mengatur sistem tata air. Air merupakan barang public karena setiap orang mempunyai hak untuk memperolehnya. Sumberdaya lahan yang terdapat di kawasan hutan lindung, secara de facto banyak di kelola oleh masyarakat  dengan kepemilikan pribadi (private property) untuk kegiatan pertanian dan dirambah dan bahkan ada yang dijadikan tambang. Meskipun, secara de jure, pengelolaan kawasan hutan lindung diberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (state property), akan tetapi kenyataannya pengelolaanya  lebih bersifat open akses.
Sifat kedua sumberdaya hutan lindung adalah adanya eksternalitas.   Eksternalitas merupakan pemanfaatan sumberdaya oleh individu – individu menimbulan  dampak. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksanaan kegiatan tersebut (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2012). Pemanfaatan hutan lindung bisa menimbulkan ekternalitas positif maupun negatif yang bukan hanya dirasakan oleh individu yang mengelola sumberdaya tersebut tetapi juga pihak lain.  Hutan lindung pada umumnya berada pada bagian hulu Das. Jika hutan ini rusak maka masyarakat di bagian hilir akan merasakan dampak negatif kerusakan tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika kawasan hutan lindung terkelola dengan baik maka fungsi hutan lindung akan optimal yang bukan hanya dirasakan oleh pihak yang mengelola.  Hal ini terkadang menyebabkan pihak pengelola tidak serius mengelolanya karena manfaatnya yang diterima tidak dirasakan sendiri. Ini membutuhkan sebuah mekanisme pengelolaan dengan mengidentifikasi pihak yang menerima manfaat dan pihak yang menyediakan manfaat. Hal ini menunjukkan bahwa hutan lindung memiliki interdependensi yang cukup tinggi.
Interdependensi hutan lindung akan muncul jika posisi hutan lindung dalam ruang Das berada lintas kabupaten atau manfaat hutan lindung tersebut mempengaruhi kabupaten lainnya. Ini yang banyak terjadi di Indonesia, sehingga kabupaten yang memiliki hutan lindung (penyedia manfaat) tidak mau mengelola hutan lindung dengan baik karena ada kabupaten lain (kabupaten penerima manfaat) yang memanfaatkan. Kondisi ini menimbulkan dilemma dalam pengelolaan.  Kebijakan yang ada belum membuka ruang untuk berkolaborasi utamanya dalam hal pendanaan.
Sifat ke tiga hutan lindung adalah high exclusion cost. Kegiatan untuk mengeluarkan masyarakat yang telah melakukan  perembahan, kegiatan perkebunan di hutan lindung tentunya memerlukan biaya yang cukup tinggi.  Permasalahan akan menjadi semakin kompleks jika hutan lindung memiliki biaya ekslusi tinggi sedangkan manfaat yang diterima Pemda tidak jelas. Sudah dapat diprediksi bahwa Pemda tidak mungkin mengeluarkan masyarakat dalam kawasan hutan lindung jika tidak ada manfaat ekonomi yang diperolehnya. Pengelolaan hutan lindung tentunya memerlukan pendekatan khusus seperti pengelolaan kolaboratif. Hanya saja, pihak akan  berkolaboratif jika ada manfaat yang jelas untuk diterimanya (Bellamy, et al., 2002).
Suparmoko dan Ratnaningsih (2012) menyatakan bahwa fungsi lingkungan termasuk hutan akan merosot disebabkan oleh ciri atau sifat yang menonjol dari sumberdaya tersebut meliputi a. adanya ciri atau sifat sebagai barang public, b. memiliki sifat CPRs, c. adanya ciri atau sifat eksternalitas  dan d. tidak diberikan harga yang layak oleh penggunanya.
III.           Landasan Hukum Pengelolaan Hutan Lindung
Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain adalah:
1)     Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3).
2)     Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
3)     Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4)     Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5)     Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
6)     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah.
7)     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
8)     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
9)     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.
10)  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
11)  Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
12)  Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2009  tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
13)  Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2010  tentang norma, strandar, prosedur dan kriteria pengelolaan hutan pada kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP)
Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 21). Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2).
Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 62/1998 tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini, urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung yang diserahkan kepada kabupaten/kota, diantaranya: pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota
 IV.        Institusi Pengelolaan Hutan Lindung
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang menyerahkan kewenangan kepada Pemda tidak mampu mendorong pengelolaan hutan lindung yang lestari. Pada tingkat unit management, sebenarnya belum ada organisasi pengelola sehingga lebih bersifat open akses.  Keberadaan Dinas kehutanan dengan segala keterbatasannya bukanlah merupakan organisasi pengelola hutan karena hanya melakukan kegiatan administrasi kehutanan.  Kegiatan yang dilakukan Pemda yang diatur dalam PP No 38 Tahun 2007 dalam kawasan hutan lindung adalah; a. Inventarisasi hutan, b. Rehabilitasi dan perlindungan hutan c. Pemberian izin pemanfaatan hutan c. Pemungutan HHBK
Dalam rejim pengelolaan yang open akses, para pihak akan berupaya untuk mengambil hasil secara berlebihan dari sumberdaya tersebut yang melebihi daya dakung lingkungan. Kondisi ini menyebabkan over eksploitasi yang mengarah pada kehancuran (Ostrom, 2008). 
Hutan lindung yang memiliki fungsi sebagai penyangga sistem kehidupan hingga saat ini masih mengalami deforestasi. Kelembagaan yang ada sekarang tidak mampu mencegah kerusakan dari pelaku-pelaku ekonomi yang ada dan kelembagaan tersebut juga tidak mampu mensukseskan program-program rehabilitasi.
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan hutan lindung seperti kegiatan Gerhan dan HKm masih banyak mengalami kegagalan. Hasil temuan Muhtar,et all., (2010) pada pengembangan HKm di Hutan Lindung Sesaot Lombok Barat mengungkapkan bahwa program HKm tersebut menjadi cela bagi masyarakat melakukan eksploitasi pada kawasan hutan  lindung yang disebabkan oleh kesalahan persepsi terhadap program HKm tersebut.
Begitu juga dengan kegiatan Gerhan yang belum memberikan hasil yang optimal untuk kelestarian hutan lindung.  Kelembagaan yang dibentuk tidak mengakar di masyarakat, artinya kelembagaan dibentuk jika ada proyek Gerhan dan ketika proyek itu berakhir maka kelembagaan itu akan hilang dengan sendirinya. Ada kecenderungan pemerintah melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui organisasi formal, kenyataanya keberhasilannya sangat terbatas dan organisasi tersebut tidak berkembang. Menurut Syahyuti (2010) negara menginginkan masyarakat diorganisasikan secara formal, sementara pasar cenderung menghendaki masyarakat (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan banyak mengalami kegagalan karena kurang menghargai institusi lokal dan pendekatan lebih bersifat seragam (Uphoof, 1986) .  Horison (1986) dalam Sahyuti (2010) menyatakan pemerintah lebih cenderung mengembangkan model modernisasi dalam melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan kurang memperhatikan konteks sosial serta lebih cenderung mengembangkan pola yang seragam, padahal kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat bervariasi.      
Pembentukan organisasi formal dalam pelibatan masyarakat untuk pengelolaan hutan lindung hanyalah merupakan sebuah pilihan atau wadah untuk menjalankan tindakan kolektif.  King (2008) menyatakan tanpa organisasi formal masyarakat dapat melakukan tindakan kolektif.  Masyarakat lokal yang tidak bersifat formal mampu melakukan tindakan kolektif melalui kearifan lokal yang dimilikinya. Hal ini diperkuat oleh banyak hasil penelitian, seperti Golar (2007) tentang kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Arafat (2009) Adaptasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Wangi-wangi, Sulawesi tenggara, Senoaji (2011) dalam Darusman, 2012, Kearifan masyarakat Badui dalam pengelolaan hutan dan lingkungan. 
V.            Reformasi Tata Kelola Hutan Lindung
Evaluasi tata kelola hutan lindung dapat dinilai melalui kinerja. Kondisi existing hutan lindung menggambarkan akumulasi dari sebuah proses yang terdiri dari kebijakan, kelembagaan dan implementasi.  Keban (2008) menyatakan Kinerja program atau kebijakan berkenaan dengan sampai seberapa jauh kegiatan-kegiatan dalam program atau kebijakan telah dilaksanakan sehingga tujuan dari program atau kebijakan tersebut dapat tercapai. Sedangkan kinerja institusi berkaitan dengan sejauh mana suatu institusi telah melaksanakan semua kegiatan pokok sehingga tujuan dapat tercapai. 
Faktor kebijakan dan kelembagaan mempunyai posisi yang sangat penting dalam menentukan keberadaan hutan lindung. Kebijakan seyogyanya disusun berdasarkan karakteristik sumberdaya yang ada. Bad policy dan bad institution akan menyebabkan bad implementation and bad performance.
Ruang kebijakan yang berkaitan dengan hutan lindung utamanya dalam erah otonomi daerah tidak terdefenisi secara jelas tentang ekternalitas dan kriteria interdependensi. Artinya,  kalau kegiatan pengelolaan hutan lindung di kabupaten A pada bagian hulu mengalami kegagalan dalam pengelolaan maka menimbulkan ekternalitasi bagi kabupaten B.  perlu ada instrument kebijakan mendorong agar penerima manfaat dengan pemberi manfaat bertanggung jawab secara bersama untuk melestarikan hutan lindung tersebut. Krott (2005) menjelaskan ada beberapa instrument kebijakan meliputi regulatory instrument, Economic instrument, administrative instrument dan information instrument. Keempat instrument kebijakan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan (Nurrochmat, et al., 2010)
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang tanpa ditunjang oleh pendanaan merupakan faktor pembatas utama bagi Pemda untuk mengelola hutan lindung.  Perlu ada upaya untuk mentransformasi nilai ekonomi hutan lindung yang potensial menjadi ekonomi yang real sehingga hutan lindung tidak hanya menjadi cost centre bagi Pemda.  Upaya ini akan berjalan jika ditunjang dengan kebijakan. Artinya, jika hutan lindung itu menimbulkan eksternalitas bagi pihak lain maka pihak lain harus bertanggung jawab untuk melestarikannya. 
Kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah pendanaan dan ekternalitas adalah melalui instrument ekonomi atau instrument fiskal seperti skema pembayaran jasa lingkungan, purchasing landuse right, dan Liability rule. Nurrochmat, et al., (2010) menyatakan pembayaran jasa lingkungan merupakan skema pembayaran yang diberikan oleh penerima jasa lingkungan kepada penyedia jasa lingkungan. Kebijakan ini akan sangat efektif pada hutan lindung yang terletak di kabupaten A yang memberikan manfaat kepada kabupaten B. Purchasing landuse right adalah pemberian kompensasi kepada seseorang atau entitas yang sesungguhnya memiliki hak untuk menggunakan lahan yang dimiliki untuk kepentingan apa saja agar menggunakan lahannya sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian. Liability rule adalah ketentuan yang menetapkan siapa yang bertanggung jawab. Liability rule ini sangat penting, bahkan persyaratan ini harus terpenuhi dulu sebelum mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau purchasing landuse right berjalan.
Hambatan yang terjadi dalam pengelolaan hutan lindung sekarang ini adalah sebagian besar hutan lindung belum memiliki organisasi pengelola di tingkat tapak.  Salah satu bentuk organisasi yang memungkinkan adalah pembentukan Kesatuan pengelolaan hutan Lindung (KPHL).  meskipun begitu, KPH yang dibentuk harus mampu lestari dari sisi finansial. Artinya, KPH itu setidaknya harus dapat menyelesaikan persoalan pendanaan, eksternalitas, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal.
Bentuk Kelembagaan KPH harus bervariasi antara satu lokasi dengan yang lainnya berdasarkan karakteristik sumberdaya yang dimiliki. Jika hutan lindung berada dalam satu ekosistem Das yang lintas kabupaten maka KPH tersebut oleh pemerintah pusat, jika dalam ekosistem dasa hutan lindung tersebut berada lintas kabupaten maka KPH dikelola oleh provinsi, selanjutnya jika hutan lindung berada dalam satu ekosistem Das yang terletak dalam satu kabupaten maka KPH tersebut dikelola oleh kabupaten.
VI.        PENUTUP
Kebijakan desentralisasi hutan lindung dalam otonomi daerah membuat hutan lindung menjadi semakin terpuruk. Pengelolaan hutan lindung yang dilimpahkan kepada Pemda seolah kehadirannya tidak diharapkan sehingga tidak dipelihara dan bahkan diperlakukan tidak baik.  Padahal, tidak disadari bahwa hutan lindung merupakan penyangga sistem kehidupan.  Ruang yang terlupakan dalam kebijakan pengelolaan hutan lindung adalah tidak menyadari karakteristik hutan lindung memiliki sifat interdependensi dan menimbulkan eksternalitas. 
Institusi yang bekerja selama ini juga belum memberikan harapan yang positif terhadap kelestarian hutan lindung.  Kegiatan Gerhan dan HKm yang dilaksanakan di hutan lindung lebih cenderung tidak memperhatikan kondisi lokal lambat laun merapuhkan modal sosial yang ada di masyarakat lokal.  Hutan lindung yang lebih bersifat open akses juga menjadi faktor yang mempercepat terjadinya deforestasi pada hutan lindung.  Kelembagaan yang diharapkan mungkin memperbaiki kondisi yang ada adalah pembentukan organisasi pengelola hutan lindung atau di sebut KPHL. Organisasi ini akan mampu mengubah kinerja pengelolaan hutan lindung jika organisasi tersebut dapat lestari secara finansial, menjawab persoalan interdependensi dan eksternalitasi dan melibatkan masyarakat.
    
DAFTAR PUSTAKA
 Arafah Nur. 2009.  Adaptasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau wangi-wangi Kabupaten Wakatobi Sulawesi tenggara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Bellamy,J.,  H, Ross., S, Ewing., and  T, Meppem., 2002. Integrated Catchment Management: Learning from the Australian Experience for the Murray-Darling Basin. Overview Report. Australia.
Darusman D., 2012.  Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia.  IPB Press. Bogor
Golar. 2007.  Strategi Adaptasi masyarakat adat Toro, Kajian kelembagaan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi tengah. Disertasi. Pascasarjana IPB. Bogor.

Hess, C., and Estrom E., 2007.  Understanding Knowladge as a Common; From Theory to Practice.  The Mit Press.  England.

Keban. 2008.  Enam dimensi Strategi Administrasi Publik; Konsep, Terori dan Isu. Gava Meida. Yogyakarta.
King, B., 2008. A Sosial Movement Perspective of Stakeholder Collective Action and Influence. Sage Publication and International Association for Business and Society. http://bas.sagepub.com.
Krott, M.  2005. Forest Policy Analisis.  Springer. Europan Forest Institute. Germany.

Mukhtar, 2010. Pengelolaan Program Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kearifan Lokal : Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Sesaot Lombok Barat. Wacana Vol. 1 No. 13 Januari 2010

Nurrochmat, D.R., I, Solihin., E Meti dan A, Hadianto., 2010. Neraca Pembangunan Hijau. Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon dan Tata Air di Sektor Kehutanan.  IPB Press. Bogor.
Ostrom, E. 2008. . Institutions and the environment. Jurnal Compilation. Oxford, UK: Blackwell Publising. Institute of Economic Affair
Sumargo, W., S.G, Nanggara., F.A, Naninggolan., dan I, Apriani., 2011.  Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000 – 2009; Edisi Pertama. Forest Watch Indonesia. 

Suparmoko, M., dan M, Ratnaningsih, 2012.  Ekonomika Lingkungan.  BPFE- Yogyakarta.

Syahyuti, 2010. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Pengaruh Negara dan pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No. 1, Juli 2010 : 35 - 53
Uphof, N., 1986.  Lokal Institutional Development: An Analitical Sourcebook with Cases.  Kumarian Press.  States of America.