Selasa, 22 September 2015

LANGAKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HINDIA BELANDA DALAM MEMBANGUN HUTAN TANAMAN JATI DI JAWA



Oleh
Sudirman Dg Massiri


I.           Periode Persiapan Timber Management
            Bangsa Belanda melalui VOC-nya sangat sistematik dalam mengembangkan bisnisnya, termasuk perdagangan kayu jati melalui mobilisasi tebangan secara besar-besaran yang tentunya menghasilkan uang sangat berlimpah bagi mereka. Namun setelah lama beroperasi, terjadi kerusakan hutan yang amat parah. Secara kebetulan, hancurnya hutan jati diikuti kebangkrutan VOC pada 1796 akibat kerugian finansial yang begitu besar. Walaupun pejabatnya kaya raya, yang disinyalir diperoleh dari hasil korupsi.
            Peralihan kekuasaan dari VOC yang telah bangkrut ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda, diiringi dengan jatuhnya negeri itu kepada Republik Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Selanjutnya, Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk memerintah Nusantara yang pada waktu itu disebut Hindia Belanda. Salah satu amanat yang harus dipikul Daendels adalah merehabilitasi hutan jati di Jawa yang rusak berat akibat praktik timber extraction VOC. Sebelum melaksanakan tugasnya, Daendels sengaja membekali diri dengan mempelajari bagaimana merehabilitasi hutan yang dilakukan Jerman sebagai negara paling berhasil menerapkan konsep timber management.
Bersamaan dengan dimulainya pemerintah Hindia Belanda setelah VOC bubar, pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil (sustained yield principles) sedang menggelora di Eropa. Sistem pengelolaan hutan modern ini telah menemukan bentukunya yang konkrit di lapangan, khususnya di Jerman. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda lalu menetapkan untuk mengelola hutan jati di Jawa secara profesional agar prinsip keleestarian dapat terwujud. Ternyata, upaya ini dapat dicapai walaupun memerlukan waktu yang cukup panjang.
            Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan karena tidak memiliki tenaga ahli yang memadai dibidang pengelolaan huta. Hal ini berbeda dengan Jerman misalnya, yang sejak abad ke-17 telah memiliki akademi kehutanan karena Jerman memang sudah lama dihadapkan dengan masalah kerusakan hutannya akibat pelaksanaan timber extraction sejak penjajahan Romawi.
            Periode persiapan pengelolaan hutan jati di Jawa berdasarkan kelestarian dapat dipisahkan menjadi 2, yaitu :
·         Periode persiapan menuju pengelolaan hutan lestari, 1808-1849.
·         Periode pemantapan persiapan, 1849-1892
a.    Periode persiapan (1808-1849)
Seperti telah dikatakan diatas, akibat praktek timber extraction oleh VOC selama hampir 200 tahun itu, hutan alam jati di Jawa mengalami kerusakan. Sebagaimana ciri timber extraction pada umumnya, pada zaman VOC itupun masalah permudaan sama sekali diabaikan, walaupun pada waktu yang sama  timber management yang sudah menganut asas kelestarian hasil telah dilaksanakan dengan semangat tinggi di Jerman. Kerusakan hutan dianggap sudah parah pada waktu kontrol atas Nusantara diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Salah satu kebijakan penting untuk tetap dapat memanfaatkan Hindia Belanda bagi kepentingan Nederland adalah memperbaiki hutan jati yang rusak itu.
Daendels yang menerima misi itu segera mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengarah kepada pembentukan organisasi kehutanan modern, meniru apa yang telah dilaksanakan di Jerman, untuk menjamin terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Namun demikian, karena daendels bukan seorang rimbawan, dan Negeri Belanda belum memiliki tenaga profesional di bidang kehutanan, maka tentu saja peraturan yang dikeluarkan belum dapat sepenuhnya memenuhi persyaratan yang gayut dengan kebutuhan. Oleh karena itu, walaupun telah berbuat banyak, usaha Daendels untuk mengatur penebangan hutan jati di Jawa itu banyak mengalami hambatan.
Di antara syarat yang diperlukan untuk mewujudkan asas kelestarian, yang mula-mula paling mudah dilihat, adalah keharusan melakukan permudaan diatas areal bekas tebangan. Pekerjaan tebangan itu sendiri harus dirancang dengan baik sehingga luasnya tidak berlebihan. Kedua hal itulah yang pertama kali dilakukan oleh  Daendels, sedangkan pembentukan organisasi teritorial baru akan terwujud setelah periode berikutnya nanti, dan di sini peranan rimbawan sangat menentukan.
Beberapa hambatan yang dihadapi untuk menata hutan jati di Jawa berdasarkan konsep Daendels dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Ø  Pertama, setelah Daendels menjadi penguasa Hindia Belanda selama 3 tahun, kontrol atas Indonesia berpindah ke tangan Inggris pada tahun 1811. Raffles yang ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal (1811-1816) merubah peraturan-peraturan Daendels sehingga praktis spirit sistem kehutanan Jerman terhenti.
Ø  Kedua, setelah kontrol atas Indonesia kembali ke tangan Kerajaan Belanda, ide Daendels ingin ditegakkan lagi oleh penggantinya, namun api pelaksanaannya tentu tidak sama dengan rancangan Daendels, sehingga perkembangan ide tersebut sangat lambat.
Ø  Ketiga, pada tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program Cultuur Stelsel untuk membangun perkebunan kopi, tebu, dan lain-lain. Pembangunan perkebunan ini memperluas lagi penebangan hutan jati yang sejak Daendels telah banyak dikurangi etatnya. Cultuur Stelsel banyak memerlukan lahan subur, baik di dataran rendah maupun di dataran pegunungan. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan lahan sehingga terjadi pembukaan hutan untuk memperoleh lahan garapan baru. Di samping itu, Cultuur Stelsel juga memerlukan kayu konstruksi dalam jumlah besar untuk membangun perumahan atau barak-barak kerja. Oleh karena itu, Cultuur Stelsel mendorong pelaksanaan timber extraction menjadi lebih luas lagi sehingga menghambat persiapan menuju terwujudnya pengelolaan hutan lestari karena kerusakan hutan jati masih terus bertambah luas.
Walaupun secara makro upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari selalu mendapatkan hambatan, namun pejabat kehutanan dan pemerintah terus melanjutkan pembenahan peraturan disertai dengan percobaan-percobaan. Sistem permudaan kembali mulai mendapat perhatian serius karena mulai disadari bahwa inilah yang menjadi salah satu kunci akan terwujudnya kelestarian pengelolaan hutan. Masalah lain yang penting adalah penguasaan lahan hutan dan perbaikan teknik-teknik penebangan berikut prosedur perencanaannya. Namun sampai pertengahan abad ke-19, pemecahan maupun perumusan sistem kegiatan teknik kehutanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan pengelolaan hutan modern masih tetap terbatas pada tahap poercobaan, termasuk masalah permudaan kembali kawasan bekas tebangan.
b.   Periode Pemantapan Persiapan (1849-1892)
Selama  periode trial and error untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang berjalan selama setengah abad itu, belum diketemukan konsep yang jelas untuk menentukan langkah pengelolaan hutan yang selanjutnya. Salah satu sebabnya adalah tiadanya konsep yang riel di lapangna karena Hindia Belanda belum memiliki ahli (sarjana) berpendidikan kehutanan. Dalam kenyataannya kerusakan hutan jati terus bertambah, sedang dilain pihak terjaminnya hasil kayu jati yang kekal semakin diyakini oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam rangka ini banyak pejabat Hindia Belanda yang mengingatkan kembali perlunya mewujudkan konsep Daendels secara sungguh-sungguh. Salah satu keputusan untuk merealisir ide Daendels itu, pada tahun 1849 dibentuk sebuah tim yang ketuai oleh seorang sarjana kehutanan berkebangsaan Jerman bernama Mollier, yang dibantu oleh dua orang juru ukur.
Biarpun tidak terlalu cepat, dan pada umumnya untuk kegiatan kehutanan memang begitu, akhirnya hasil tim Mollier itu sangat nyata, yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura yang pertama tahun 1865, serta diumumkannya peraturan agraria (Domeinverklaaring) tahun 1870. Dengan keluarnya Domeinverklaaring itu, maka batas kawasan hutan di pulau Jawa dan Madura menjadi jelas. Adanya Undang-Undang Kehutanan mendorong perlunya disusun peraturan-peraturan, dan untuk itu diperlukan banyak sekali data dan informasi, yang menyebabkan kegiatan pekerjaan teknik kehutanan serta penelitian dan pengembangan semakin bergairah.
Tindak lanjut hasil dari Mollier cukup banyak. Pemerintah Kerajaan Belanda mengirim banyak mahasiswanya untuk belajar di Akademi Kehutanan di Tarrant, Jerman. Ahli kehutanan bangsa Belanda lulusan Jerman itu akhirnya banyak memberi sumbangan yang sangat penting dalam era persiapan pengelolaan hutan lestari ini. Pada tahun1873, Buurman, seorang Kepala Distrik Hutan (KDH), membuat percobaan tumpangsari di daerah hutan Batang dan berhasil dengan baik. Hasil percobaan Buurman ini kelak terus disempurnakan sampai akhirnya tahun 1935 secara resmi oleh Boschwezen dijadikan Petunjuk Teknik Pembuatan Tanaman untuk Hutan Jati.
Pada tahun 1892, usulan Bruinsma tentang pembentukan organisasi teritorial yang dinamakan Houtvesterij di terima. Digabungkan dengan konsep Boschafdeling (bagian Hutan) yang telah dirumuskan oleh tim Mollier, akhirnya penataan hutan dapat dilaksanakan di lapangan (Simon, 1994). Konsep Bruinsma inilah yang dimaksudkan dengan “konsep riel” pengelolaan hutan lestari yang baru saja disebutkan diatas. Hasilnya, pada tahun 1898 Rencana Perusahaan (RP) yang pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara dapat diselesaikan. Beberapa karya besar tersebut menjadi kunci yang membuat kelestarian pengelolaan hutan jati di Jawa dapat terjamin sampai sekarang.
Dengan berhasilnya disusun RP yang pertama, yang kemudiaan di susul RP untuk Bagian Hutan yang lain, maka berakhirlah periode trial and error. Selanjutnya, sejak tahun 1898 pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil mulai dapat dilaksanakan denhan baik, sambil memperbaiki semua petunjuk teknis dan sistem administrasi maupun organisasi yang diperlukan. Dengan demikian, awal pengelolaan hutan lestari pada hutan jati dapat disebut tahun 1892, yaitu diterimanya konsep Bruinsma tentang Houtvesterij, atau tahun 1898, yaitu selesainya RP yang pertama berdasarkan konsep Bruinsma tersebut. Atas dasar itu.
Kalau dikaji lebih mendalam, konsep pengelolaan hutan lesatari yang lahir di Jerman dan kemudiaan di tiru untuk membangun hutan jati di Jawa tersebut dapat berhasil dengan baik karena syarat-syarat yang diperlukan sudah ditangan dan dapat diwujudkan dilapangan. Syarat-syarat tersebut adalah (Simon, 1995) :
1.      Sudah dapat dirumuskan sistem permudaan kembali yang menjamin keberhasilan pembuatan tanaman di lapangan, termasuk teknik silvikultur, prosedur kerja, organisasi pelaksana dan biaya.
2.      Tidak terjadi over-cutting dalam tebangan, sehingga untuk itu harus sudah dimiliki teknik inventore dan sistem perhitungan etat yang baik, dan instrumen pelaksanaan pekerjaan juga sudah lengkap dengan kinerja yang baik pula.
3.      Batas kawasan hutan sudah dapat di tetapkan dan diakui oleh semua pihak, baik instansi pemerintah non kehutanan maupun masyarakat luas.
Untuk mewujudkan syarat yang pertama, hutan jati di Jawa memerlukan waktu lebih dari satu abad. Petunjuk Teknik Pembuatan Tanaman baru dapat di umumkan secara resmi oleh Boschwezen pada tahun 1935, berdasarkan tulisan Buurman tahun1883 (De Djaticultuur) dan percobaan serta pelaksanaan di lapangan sejak tahun 1873. Petunjuk pembuatan tanaman yang pertama adalah laporan Gubernur Overstraten, petunjuk kedua peraturan yang di buat oleh daendels, sedang petunjuk ketiga tercantum dalam Reglement pemerintah tahun  1930. De Djaticultuur sendiri merupakan petunjuk pembuatan tanaman yang kelima, setelah sebelumnya sistem permudaan alam pernah diumumkan oleh Mollier pada tahun 1865. Sistem ini dikenal dengan nama Blandongcultuur.
Persyaratan kedua dapat diselesaikan pada tahun 1938 dengan keluarnya Petunjuk Pembuatan Rencana perusahaan Tetap. Sistem ini disusun atas dasar konsep Mollier yang mulai bekerja pada tahun 1849, digabung dengan konsep Bruinsma yang mulai menyelesaikan RP pertama pada tahun 1898. Jadi, untuk merumuskan petunjun inventore dan sistem perhitungan etat juga memerlukan waktu hampir satu abad. Itupun kedua petunjuk itu sekarang sudah perlu direvisi, atau bahkan diperlukan teknik inventore maupun sistem perhitungan etat yang sama sekali baru.
  Persyaratan yang ketiga, batas kawasan hutan, lebih pelik lagi. Padahal, waktu itu intensitas masalah sosial-ekonomi masyarakat masih jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang. Bagian yang paling sulit untuk keperluan ini adalah menyelesaikan hak ulayat, hak masyarakat setempat atas pengusahaan hutan disekitar desanya. Dengan perlahan-lahan, namun pasti, masalah ini diselesaikan secara sistematis, khususnya melalui kebijakan Blandongdiensten, sampai akhirnya dapat di umumkan Domeinverklaaring pada tahun 1870, setelah sebelumnya berhasil digulirkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa Madura yang pertama pada tahun 1865.       
II.            Periodel Timber Management Pertama
Karena unsur pengelolaan hutan lestari dirasakan telah mulai dikuasasi, pada tahun 1890 pemerintah Hindia Belanda membentuk Djatibedrijfs Perusahaan Jati).  Tugas Djatibedrijfs,  yang merupakan badan usaha profesional milik pemerintah Hindia Belanda (BUMN), adalah untuk memperoleh keuntungan sambil membangun pengelolaan hutan jati agar produktivitasnya terus meningkat.  Berkat penanganan pengelolaan yang profesional itu, maka sistem pengelolaan hutan jati di Jawa memang dapat dikembangkan secara sistematik.  Sepanjang paruh tahun pertama abad ke-20 karya-karya besar lainnya muncul, melengkapi apa yang telah dilahirkan dalam paruh kedua abad ke-19.  Karya-karya baru tersebut yang terpenting adalah sistem penjangan oleh Hart (1928).  Tabel tegakan normal oleh  Wolf Von Wulffing (1932) yang dilengkapi oleh Ferguson (1935),  penelitian tentang sifat-sifat silvikultur jati oleh Coster (1932) yang merupakan elemen-elemen utama untuk menyusun sistem pengelolaan hutan tanaman.
  Periode pelaksanaan timber management pertama secara operasional dimulai dengan selesainya penyusunan rencana perusahaan yang pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara.  Isi rencana perusahaan dititikberatkan pada penyusunan rencana kegatan teknik kehutanan yang dapat menjamin terwujudnya kelestarian hasil kayu pertukangan.  Rencana kegiatan teknik kehutanan tersebut adalah pemanenan, permudaan kembali, dan pemeliharaan tegakan.  Dalam kegiatan pemanenan ada dua kegiatan pokok, yaitu inventore tegakan untuk mengetahui potensi dan perhitungan etat untuk menghitung volume tebangan tahunan yang volume tidak melampauhi  kemampuan tumbuh (riap) tegakan pada unit kelestarian (bagian hutan) yang bersangkutan.
Di bidang permudaan kembali, setelah ada percobaan-percobaan sejak tahun 1796, telah ditemukan sistem buatan yang dikemukakan dan diuji-cobakan oleh Buurman sejak tahun 1773.  Sistem ini kemudian dikenal dengan nama tumpang sari yang memang terbukti menghasilkan hutan tanaman jati yang sangat bagus dengan biaya murah.  Sistem tumpang sari ini memberi sumbangan yang cukup besar dalam pelaksanaan timber management periode pertama, karena dapat memberi jawaban yang meyakinkan bagi rimbawan untuk melestarikan potensi hutan di lapangan sehingga asas kelestarian hasil dapat terwujud.
Dengan pengalaman menyusun dan melaksanakan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian mulai tahun 1898 itu, dan pelaksanaan pengelolaan oleh sebuah organisasi profesional, maka pengalaman demi pengalaman depat dikumpulkan dan khasanah ilmu pengetahuan pengelolaan hutan jati menjadi semakin kaya.  Pengalaman panjang melaksanakan pembuatan tanaman dengan sistem tumpang sari kemudian dituangkan dalam petunjuk teknis pembuatan tanaman jati yang diterbitkan pada tahun 1935.  Setelah didiskusikan secara intensif, hasil penelitian penjarangan yang dilakukan oleh Hart pada tahun 1927 dijadikan dasar untuk menyusun petunjuk teknis penjarangan hutan tanaman jati yang diumumkan pada tahun 1937.
Setelah petunjuk teknik inventore dan pengaturan hasil dapat disempurnakan, maka pada tahun 1938 diumumkan sebuah petunjuk penyusunan rencana perusahaan pada hutan jati yang merangkum semua instruksi yang telah diumumkan oleh Boschwezen.  Dengan diumumkannya petunjuk ini, maka “sempurnalah” instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan pengelolaan hutan jati modern  untuk menghasilkan kayu pertukanan.
Dari tahun-tahun yang menerangkan penyelesaian instrumen pengelolaan (management instrument) tersebut dapat diketahui konsistennya upaya yang dilakukan untuk membangun sistem pengelolaan hutan jat pada waktu itu.  Di samping konsistensi, prestasi tersebut tentu didukung oleh dedikasi rimbawan yang sangat tinggi.  Sikap ini kelak terbukti karena rimbawan mempunyai semangat korps yang tinggi pula sehingga mendorong etos kerja yang dikenal pantang menyerah sebelum mencapai hasil yang dicita-citakan.
Kunci keberhasilan Djatiberijfs adalah:
-          Dibangunnya organisasi perencanaan mandiri dan profesional sejak tahun 1982 yang dinamakan Brigade Planologi.  Organisasi ini bertanggung jawab langsung kepada Menteri pertanian, tidak kepada Boschwezen apalagi kepada pimpinan Djatibedrijfs.
-          Etos kerja rimbawan tinggi, jiwa korsa kuat dan kejujuran dikontrol ketat melalui moral rimbawan, organisasi dan sistem administrasi yang teratur rapi.
-          Djatiberijfs selalu merespon positif setiap inovasi yang muncul, dengan memelihara hubungan baik dengan perguruan tinggi.  Antara tahun 1919-1935 telah dihasilkan dua doktor yang melakukan penelitian pada hutan di Jawa dan semuanya menghasilkan karya yang monumental.
-          Dengan dibentuknya LPH pada tahun 1913, walaupun sebelumnya kegiatan penelitian sudah dilaksanakan, maka penelitian yang dirancang secara berkesinambungan dengan hasil-hasil antara lain telah disebutkan sebelumnya.    
III.         Timber Management Kedua
Kurang dari empat tahun setelah petunjuk penyusunan rencana perusahaan tetap diumumkan oleh Boschwezen, di Indonesia terjadi perubahan politik yang sangat penting.  Pada bulan maret 1942, pemerintah kolonial Belanda harus menyerah tanpa syarat kepada Bala tentara Nippon dan sejak itulah kontrol indonesia kemudian berada di tangan tentara penduduk Jepang.  Ini merupakan akhir pengelolaan hutan jati di Indonesia oleh Hindia Belanda.
Dengan berakhirnya kewenangan Hindi Belanda dalam pengelolaan hutan di Jawa, dalam periode timber manajemen kedua ini mengalami lima periode tahap pelaksanaan yakni:
-          Masa Chaos (Pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan), 1942-1949.
-          Masa adem ayem, masa jawatan kehutanan, 1950-1963
-          Masa transisi perkenalan masalah sosial, 1963-1974.
-          Masa perumusan pengelolaan masalah sosial, 1974-1986
-          Masa uji coba pengelolaan kehutanan sosial, 1986 sampai sekarang. 
IV.         PENUTUP
Langkah-langkah kebijakan pembanguan hutan Jati di Jawa Oleh Hindia Belanda dilakukan secara cermat, sungguh-sunggu dan  sangat hati-hati serta membutuhkan waktu yang sangat lama.  Hasil dari perjalan yang panjang ini memberikan hasil dengan bukti baik hard ware berupa hutan jati yang baik, maupun soft ware berupa instrumen pengelolaan yang baik.

SUMBER BACAAN

Simon, Hasanu., 1994.  Merencanakan Pembangunan Hutan Untuk Strategi kehutanan Sosial.  Aditya Media. Yogyakarta
Simon,  Hasanu.,  2002.  Cultuurstelsel I: Program Pembangunan Perkebunan. Serasah, Media Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Hutan Jati Optimal, Vol. III, No. 25, Oktober 2002. Yogyakarta
Simon, Hasanu., 2004.  Aspek Sosio Teknis Pengelolaan Hutan di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Simon, Hasanu., 2004.  Membangun Kembali Hutan Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Simon, Hasanu., 2007.  Mentap ke depan Hutan Indonesia. Prosiding. Membangun KPH keharusan untuk Hutan Indonesia Lestari. Debut Prass. Yogyaka
Simon, Hasanu., 2007.  Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Simon, Hasanu., 2007.  Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Hutan, Jilid I Timber Management. Bahan Ajar. Jogjakarta.
Simon, Hasanu., 2008.  Kebijakan Hutan Lanjut.  Bahan Ajar Pascasarjana Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

BELAJAR DARI KONSEP HOUTVESTERIJ UNTUK MEMBANGUN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA



Oleh:
Sudirman Dg Massiri

A.     Latar Belakang Lahirnya Konsep Houtvestarij
Keberhasilan membangun hutan tanaman di Jerman berdasarkan  azas kelestarian hasil terletak pada perumusan dasar-dasar perencanaan dan pengelolaan, yang kemudian diterjemahkan dalam membangun hutan hutan jati di Jawa yang dikenal dengan konsep houtvesterij. Pada akhir abad ke-19 konsep Jerman tentang organisasi  wilayah tersebut  baru berhasil dirumuskan untuk disesuaikan dengan kondisi jawa oleh Bruinsma.  Konsep Bruinsma tersebut disebut konsep Houtvesterij,  yang secara resmi disetujui oleh Boschwezen pada tahun 1892.  Berdasarkan konsep Houtvesterij terebut, pengelolaan hutan jati di jawa mulai didasarkan suatu rencana kerja yang teratur, dinamakan rencana perusahaan.  Segera setelah diterima pemerintah, konsep Houtvesterij ditindak lanjuti dengan rencana perusahaan; yang pertama kali diselesaikan adalah rencana perusahaan untuk bagian hutan (Boschafdeling) keradenan utara yang berlaku untuk jangka 1898-1907 (Soepardi, 1984). Dengan konsep houtvesterij ini terbukti  hutan tanaman jati di Jawa dapat dibangun dengan hasil yang memuaskan.
Tujuan yang ingin dicapai konsep Houtvesterij adalah untuk mengatur organisasi lapangan agar pengelolaan hutan berdasarakan  azas kelestarian hasil sehingga dapat diselenggarakan secar efektif dan efisien.  Sebelum Bruinsma mengajukan konsep houtvesterij, Tim Mollier mengemukakan pendapat perlunya menetapkan unit pengelolaan hutan kecil, yaitu satuan luas sekitar 5.000 ha.  Entah dipengaruhi oleh pendapat tersebut atau tidak, konsep Hotvesterij yang diajukan Bruinsma menyodorkan pembentukan organisasi lapangan untuk perencanaan (unit perencanan, planning unit) dan  pelaksanaan pengelolaan (unit pengelolaan,    management unit).  Akhirnya unit perencanaan dan unit pengelolaan harus disinerjiskan menjadi satu.  Fungsi unit perencanaan adalah untuk mengontrol kelestarian hasil kayu, sedangkan fungsi unit pengelolaan adalah untuk mengontrol keuntungan finansial.

B.            Langkah-langka mewujudkan hutan Taman jati yang lestari berdasarkan konsep Houtvesterij
Langka pertama untuk mewujudkan azas kelestaraian dengan tiga persyaratan itu adalah pembentukan organisasi wilayah untuk mewadahi kegiatan pembangunan hutan, mengatur administrasi pekerjaan, dan melaksanakan seluruh aktifitas pengelolaan hutan secara efektif dan efisien.  Prinsip dasar konsep organisasi  wilayah untuk pengelolaan hutan jerman tersebut adalah:
a.        Penentuan unit perencanaan, yang berfungsi untuk kelestarian hasil
b.      Penentuan Unit pengelolaan untuk  yang berfungsi untuk mengontrol keuntungan perusahaan.
1.      Unit Perencanaan
Sebagai alat untuk mengontrol kelestarian hasil, unit perencanaan (planning unit) menjadi basis untuk perhitungan etat.Dengan demikian, penebangan dalam rangka memanen hasil yang harus menjamin kelestarian hasil kayu, berarti juga kelestarian potensi kayu di lapangan, diatur perbagian hutan sebagai satu kesatuan.  Berdasarkan pandangan tersebut Soedarwono Hardjosoediro (1972) menyebut bagian hutan sebagai suatu kesatuan unit produksi.
Sebagai satu kesatuan produksi, penentuan luas bagian hutan hanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan kelestarian tebagangan. Oleh karena itu, berapapun luasnya, keinginan untuk memanen secara lestari selalu dapat dilakukan. Dengan kata lain, tidak ada faktor tertentu yang menjadi kendala untuk memenuhi luas bagian hutan. Akibatnya luas bagaian hutan sebagai luas perencanaan dapat mengikuti luas unit pengelolaan, yang terikat dengan ketentuan-ketentuan pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan di lapangan.
2.       Unit Pengelolaan
Ditinjau dari aspek unit pengelolaan (management unit), suatu kesatuan wilayah harus dapat menampung pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan yang efektif dan efisien.  Kelebihan konsep Hautvesterij yang diajukan Bruinsma terletak pada dasar-dasar pemikiran yang mudah dimengerti berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang efektif dan efisien, dan mudah disinerjiskan dengan aspek unit perencancaan.
Tahap Penentuan Unit Pengelolaan
Tiga Tahap penentuan unit pengelolaan tersebut di atas dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Seperti yang telah diterangkan di atas, dalam paradigma timber management  mengenal tiga macam kegiatan yaitu pembuatan tanaman, pemeliharaan dan pemanenen. Konsep Bruinsma tentang unit pengelolaan menentukan  luas wilayah mulai dari pemanenan,  perhitungan luas untuk melaksanakan tiga kegiatan tersebut secara terpadu.  Setiap kegiatan menentukan luas tertentu agar dapat dilaksanakan oleh suatu organisasi pelaksana dengan hasil yang baik.   Dengan panjang lebar Soedarwono menerangkan masalah ini, yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kegiatan pembuatan tanamanlah yang menjadi penentu luas unit pengelolaan.  Hasil penelitian Soedarwono (1970) menyebutkan bahwa luas pembuatan tanaman jati yang normal dengan sistem tumpang sari adalah 10 ha.  Berdasarkan hal tersebut maka luas satuan unit pengelolaan terkecil adalah luas pembuatan tanaman yang normal tersebut dikalikan dengan panjang daur.
Panjang daur untuk hutan jati ditetapkan pada awal pembuatan Houvesterij adalah 80 tahun.Walaupun pada tahun 1939 dan tahun 1942 diketahui bahwa daur finansial untuk hutan tanaman jati  ternyata jatuh pada umur sekitar 42 tahun, namun daur jati tetap dipakai 80 tahun karena alasan konservasi dan kehati-hatian.  Oleh karena itu dengan mudah luas satuan unit pengelolaan hutan terkecil, yaitu dapat menampung ketiga macam kegiatan teknik kehutanan tersebut, dapat dihitung dari perkalian anatara perkalian kemampuan membuat tanaman dengan panjang daur.  Dengan demikian ditemukan angka 800 ha untuk luas unit pengelolaan hutan terkecil yang normal.  Tentu saja di lapangan ada variasi karena pertimbangan-pertimbangan lokal, sehingga luas unit pengelolaan hutan terkecil tidak selalu 800 ha, melainkan dapat bergoyang antara  600-1.200 ha.
Luas unit pengelolaan ditetapkan untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan yang secara finansial menguntungkan perusahaan.  Untuk mencapai tujuan ini, unit pengelolaam dibuat berjenjang yakni:
a.        Unit pengelolaan harus terkecil:  Untuk mengatur pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan (penanaman, pemeliharaan dan pemanenan) yang teratur agar diperoleh hasil kayu yang lestari sehingga pengelolaan hutan selalu menerima keuntungan uang setiap tahun.   Untuk pengelolaan hutan terkecil ini kemudian dinamakan Resolt Polisi Hutan (RPH)
b.      Unit pengelolaan hutan untuk memperoleh keuntungan perusahaan pada tingkat tegakan (stand level management), yang merupakan gabungan pengelolaan terkecil.  Penggabungan ini dilakukan dua tahap sesuai dengan ketentuan penyusunan  organisasi pengelolaan yang efektif dan efisien, yaitu dengan apa yang dinamakan jenjang pengawasan (span of control).  Pada waktu hukum jenjang pengawasan untuk pembentukan organisasi wilayah yang dianggap baik adalah dengan perbandingan 1:(4-6).  Dua tahap panggabungan itu adalah:
1.       Empat sampai enam RPH diikordinir oleh seorang pejabat pimpinan tingkat lapangan.  Pada era  Djatibedrijfs koordinator beberapa RPH dinamakan opziner, pada masa jawatan kehutanan disebut kepala Bagian Daerah Hutan (KBDH) dan pada zaman perhutani dinamakan Asisten Perhutani (Asper) atau kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (KBKPH).  Dari istilah opziner tersebut maka pejabat ini lebih terkenal dengan sebutan sinder.
2.      Dua sampai empat opziner digabung menjadi satu disebut Houtvesterij.  Pelaksanaan houtvesterij ini dipimpin oleh seorang Houtvester, yang ada pada jawatan kehutanan yang dinamakan Kepala Daerah Hutan (KDH), dan pada zaman perhutani berubah menjadi administratur/kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (adm/KPH).
c.        Unit pengelolaan hutan untuk memperoleh keuntungan dengan melibatkan seluruh kegiatan kehutanan, mulai dari membangun (membuat tanaman) sampai mengolah dan memasarkan hasilnya.
C.    Organisasi Pengelolaan Hutan Tanaman Jati
 Pada Hutan jati di Jawa, organisasi ini dinamakan opper-Houtvesterij yang merupakan gabungan beberapa Houtvesterij. Setelah kemerdekaan  istilah Opper-Houtvesterij  ini dirubah menjadi daerah hutan (DH) yang disesuaikan dengan batas administrasi pemerintahan (kabupaten), dan setelah pengelolaan hutan jati di jawa diserahkan kepada PN perhutani pada tahun 1962 disebut Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Di luar Pulau Jawa saat ini, KPH tersebut  disebut sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Beberapa waktu sebelum konsep Houtvesterij disetujui, Boschwzen membentuk suatu badan yang disebut Boschwagter (penjaga hutan), yang bertugas mengawasi pelaksanaan pembuatan batas kawasan hutan sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Agrariche wet tahun 1865 dimana di dalamnya terdapat Domeinverklaaring tentang batas kawasan hutan.  Setelah penataan Houtvesterij di buat di lapangan untuk menyusun rencana perusahaaan, seorang Boschwagter diberi kekuasaan untuk menjaga keamanan suatu wilayah tertentu, yang dikaitkan dengan pengawasan pelaksanaan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.  Oleh karena itu wilayah kerja Boschwagter dibuat identik dengan satuan luas unit pengelolaan hutan terkecil yakni dengan luas 800 ha, sehingga dalam perjalanan selanjutnya Boschwagter seolah-olah menjadi kordinator ketiga macam kegiatan tadi.  Wilayah tersebut kemudian dinamakan Resort Polisi Hutan.
Pada akhir abad ke-19, ilmu manajemen mengenal jenjang pengawasan (spam of control).  Untuk organisasi pimpinan, hukum jenjang pengawasan yang berlaku pada saat itu adalah seorang pimpinan dapat mengawasi dan mengkoordinir pimpinan di bawahnya dengan rentang 1:4-6. Untuk kehutanan karena menghadapi wilayah yang luas, dengan komunikasi yang tidak lancar, pada umumnya diambil batas wilayah yaitu jenjang pengawasan 1:4.  Oleh karena itu empat wilayah RPH diawasi oleh seorang wilayah pimpinan yang disebut Opziener.  Dari istilah inilah kemudian dikenal istilah sinder, yaitu pejabat kehutanan yang memimpin sekitar empat wilayah RPH.  Dalam era jawatan kehutanan (1950-1963) jabatan sinder tersebut dinamakan KDH, sedang dalam era perhutani dinamakan KBKPH atau Asper. Struktur organisasi masing-masing era tersebut digambagrkan sebagai berikut:
 

 
Dalam konsep Houtvesterij, kegiatan menanaman, pemeliharaan dan pemanenan diupayakan untuk dilakukan lestari setiap tahun.  Hal ini didorong oleh dua kepentingan yaitu adanya hasilkayu (dari tebangan) yang kontinyu dalam jumlah yang kurang lebih sama dan ekajenan tenaga kerja untuk menjamin lapangan kerja yang tetap dan menjaga dan meningkatkan keterampilan pekerja. Oleh karena itu, di dalam wilayah RPH itulah sebenarnya kelestarian pengelolaan hutan harus dijaga atau diupayakan. Dengan kata lain kunci tercapainya kelestarian terletak pada keberhasilan untuk menjaga agar seluruh kegiatan teknik kehutanan dapat terus berkesinambungan dalam suatu wilayah RPH.  Karena pekerjaan pemanenan memerlukan pengawasan yang relatif berat dan menghasilkan uang maka RPH pernah disebut sebagai pusat tebang, terjemahan dari bahasa belanda Boscharchitect, disingkat BA, sedangkan untuk RPH yang sedikit tebangannya tetap disebut opziener. 
Baik wilayah RPH maupun  gabungannya yang dipimpin oleh opziener atau Boscharchitect adalah organisasi pengelolaan tingkat tegakan (level stand management).  Dengan terbentuknya RPH, BDH atau BKPH tersebut, maka pembentukan unit perencanaan atau bagian hutan dengan mudah dilakukan.  Di dalam kenyataan, satu bagian hutan secara teoritis dapat dibentuk dari satu, dua atau bahkan empat BDH, tanpa mengganggu berfungsinya unit perencanaan maupun unit pengelolaan dalam konteks azas kelesztaraian.  Inilah yang menyebabkan konspe Bruinsma tersebut mudah diterima dan masih akan berlaku sampai kapan saja, walaupun aplikasi azas kelestarian maupun paradigma pengelolaan hutan telah mengalami perubahan. 
Untuk kepentingan pengembangan organisasi, agar diperoleh efisiensi yang lebih baik maka satu atau dua bagian hutan dipimpin oleh seorang pejabat yang dinamakan Houtvesster, sedangkan wilayah kerjanya dinamakan Houtvesterij.  Pada akhir era Boschwazen sebelum jepang menduduki indonesia, sudah dilaksanakan gagasan untuk pengelolaan hutan yang memperhitungkan kegiatan pengolahan kayu dan pemasaran yang lebih menguntungkan. Untuk itu beberapa Houvesterij digabungkan menjadi satu dan dinamakan Opper-Houtvesterij.  Setelah kemerdekaan, Opper-Houtvesterij inilah yang kemudian disebut dengan daerah hutan yang dipimpin oleh seorang KDH.  Setelah jawatan kehutanan digantikan maka DK berubah menjadi KPH (kesatuan Pemangkuan Hutan) yang dipimpin oleh pejabat yang disebut Adm/KKPH.
Tampaknya, Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan  yang genjar-genjarnya dibangun di luar pulau jawa juga tidak terlepas dari pondasi dari konsep Houtvesterij. Namun demikian, konsep ini perlu ada pengembangan, sehingga tidak hanya mengelola dan fokus pada sumberdaya hutan semata  tetapi memperhatikan masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai faktor penting yang harus diakomodasi dalam membuat kebijakan pengelolaan hutan.  Konsep pengelolaan hutan melalui KPH di luar pulau jawa dapat berjalan jika  KPH itu dapat melaksanakan resolusi konflik, memberikan kepastian akses dan hak kepada masyarakat lokal yang bergantung terhadap sumberdaya hutan, sebab persyaratan dasar bagi terwujudnya kelestarian pengelolaan adalah adanya jaminan kepastian kawasan yang diakui oleh semua pihak.

Sumber Bacaan:
Simon, H., 2007.  Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Hutan, Jilid I Timber Management. Bahan Ajar. Jogjakarta.
 Simon, H.,  2007.  Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

  Simon, H., 2006.  Hutan Jati dan Kemakmuran. Problema dan Strategi pemecahannya. Pustaka Pelajar, Jogjakarta