Oleh
Sudirman Dg Massiri
I.
Periode Persiapan Timber Management
Bangsa Belanda melalui VOC-nya sangat sistematik dalam
mengembangkan bisnisnya, termasuk perdagangan kayu jati melalui mobilisasi
tebangan secara besar-besaran yang tentunya menghasilkan uang sangat berlimpah
bagi mereka. Namun setelah lama beroperasi, terjadi kerusakan hutan yang amat parah.
Secara kebetulan, hancurnya hutan jati diikuti kebangkrutan VOC pada 1796
akibat kerugian finansial yang begitu besar. Walaupun pejabatnya kaya raya,
yang disinyalir diperoleh dari hasil korupsi.
Peralihan kekuasaan dari VOC yang telah bangkrut ke
tangan pemerintah Kerajaan Belanda, diiringi dengan jatuhnya negeri itu kepada
Republik Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Selanjutnya, Herman
Willem Daendels ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk memerintah Nusantara
yang pada waktu itu disebut Hindia Belanda. Salah satu amanat yang harus
dipikul Daendels adalah merehabilitasi hutan jati di Jawa yang rusak berat
akibat praktik timber extraction VOC. Sebelum melaksanakan tugasnya, Daendels
sengaja membekali diri dengan mempelajari bagaimana merehabilitasi hutan yang
dilakukan Jerman sebagai negara paling berhasil menerapkan konsep timber management.
Bersamaan dengan
dimulainya pemerintah Hindia Belanda setelah VOC bubar, pengelolaan hutan
berdasarkan prinsip kelestarian hasil (sustained
yield principles) sedang menggelora di Eropa. Sistem pengelolaan hutan
modern ini telah menemukan bentukunya yang konkrit di lapangan, khususnya di
Jerman. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda lalu menetapkan untuk
mengelola hutan jati di Jawa secara profesional agar prinsip keleestarian dapat
terwujud. Ternyata, upaya ini dapat dicapai walaupun memerlukan waktu yang
cukup panjang.
Dalam
mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan
karena tidak memiliki tenaga ahli yang memadai dibidang pengelolaan huta. Hal
ini berbeda dengan Jerman misalnya, yang sejak abad ke-17 telah memiliki
akademi kehutanan karena Jerman memang sudah lama dihadapkan dengan masalah
kerusakan hutannya akibat pelaksanaan timber
extraction sejak penjajahan Romawi.
Periode
persiapan pengelolaan hutan jati di Jawa berdasarkan kelestarian dapat
dipisahkan menjadi 2, yaitu :
·
Periode persiapan
menuju pengelolaan hutan lestari, 1808-1849.
·
Periode pemantapan
persiapan, 1849-1892
a.
Periode
persiapan (1808-1849)
Seperti
telah dikatakan diatas, akibat praktek timber
extraction oleh VOC selama hampir 200 tahun itu, hutan alam jati di Jawa
mengalami kerusakan. Sebagaimana ciri timber
extraction pada umumnya, pada zaman VOC itupun masalah permudaan sama
sekali diabaikan, walaupun pada waktu yang sama
timber management yang sudah
menganut asas kelestarian hasil telah dilaksanakan dengan semangat tinggi di
Jerman. Kerusakan hutan dianggap sudah parah pada waktu kontrol atas Nusantara
diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Salah satu kebijakan penting untuk tetap
dapat memanfaatkan Hindia Belanda bagi kepentingan Nederland adalah memperbaiki
hutan jati yang rusak itu.
Daendels
yang menerima misi itu segera mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengarah
kepada pembentukan organisasi kehutanan modern, meniru apa yang telah
dilaksanakan di Jerman, untuk menjamin terwujudnya pengelolaan hutan lestari.
Namun demikian, karena daendels bukan seorang rimbawan, dan Negeri Belanda
belum memiliki tenaga profesional di bidang kehutanan, maka tentu saja
peraturan yang dikeluarkan belum dapat sepenuhnya memenuhi persyaratan yang
gayut dengan kebutuhan. Oleh karena itu, walaupun telah berbuat banyak, usaha Daendels
untuk mengatur penebangan hutan jati di Jawa itu banyak mengalami hambatan.
Di
antara syarat yang diperlukan untuk mewujudkan asas kelestarian, yang mula-mula
paling mudah dilihat, adalah keharusan melakukan permudaan diatas areal bekas
tebangan. Pekerjaan tebangan itu sendiri harus dirancang dengan baik sehingga
luasnya tidak berlebihan. Kedua hal itulah yang pertama kali dilakukan oleh Daendels, sedangkan pembentukan organisasi
teritorial baru akan terwujud setelah periode berikutnya nanti, dan di sini
peranan rimbawan sangat menentukan.
Beberapa
hambatan yang dihadapi untuk menata hutan jati di Jawa berdasarkan konsep Daendels
dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Ø Pertama, setelah Daendels menjadi penguasa Hindia
Belanda selama 3 tahun, kontrol atas Indonesia berpindah ke tangan Inggris pada
tahun 1811. Raffles yang ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal (1811-1816) merubah
peraturan-peraturan Daendels sehingga praktis spirit sistem kehutanan Jerman terhenti.
Ø Kedua,
setelah kontrol atas Indonesia kembali ke tangan Kerajaan Belanda, ide Daendels
ingin ditegakkan lagi oleh penggantinya, namun api pelaksanaannya tentu tidak
sama dengan rancangan Daendels, sehingga perkembangan ide tersebut sangat
lambat.
Ø Ketiga,
pada tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program Cultuur Stelsel untuk membangun
perkebunan kopi, tebu, dan lain-lain. Pembangunan perkebunan ini memperluas
lagi penebangan hutan jati yang sejak Daendels telah banyak dikurangi etatnya. Cultuur Stelsel banyak memerlukan lahan
subur, baik di dataran rendah maupun di dataran pegunungan. Akibatnya, banyak
petani yang kehilangan lahan sehingga terjadi pembukaan hutan untuk memperoleh
lahan garapan baru. Di samping itu, Cultuur
Stelsel juga memerlukan kayu konstruksi dalam jumlah besar untuk membangun
perumahan atau barak-barak kerja. Oleh karena itu, Cultuur Stelsel mendorong pelaksanaan timber extraction menjadi lebih luas lagi sehingga menghambat persiapan
menuju terwujudnya pengelolaan hutan lestari karena kerusakan hutan jati masih
terus bertambah luas.
Walaupun
secara makro upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari selalu mendapatkan hambatan,
namun pejabat kehutanan dan pemerintah terus melanjutkan pembenahan peraturan
disertai dengan percobaan-percobaan. Sistem permudaan kembali mulai mendapat
perhatian serius karena mulai disadari bahwa inilah yang menjadi salah satu
kunci akan terwujudnya kelestarian pengelolaan hutan. Masalah lain yang penting
adalah penguasaan lahan hutan dan perbaikan teknik-teknik penebangan berikut
prosedur perencanaannya. Namun sampai pertengahan abad ke-19, pemecahan maupun
perumusan sistem kegiatan teknik kehutanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan
pengelolaan hutan modern masih tetap terbatas pada tahap poercobaan, termasuk
masalah permudaan kembali kawasan bekas tebangan.
b.
Periode
Pemantapan Persiapan (1849-1892)
Selama periode trial
and error untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang berjalan selama
setengah abad itu, belum diketemukan konsep yang jelas untuk menentukan langkah
pengelolaan hutan yang selanjutnya. Salah satu sebabnya adalah tiadanya konsep
yang riel di lapangna karena Hindia Belanda belum memiliki ahli (sarjana)
berpendidikan kehutanan. Dalam kenyataannya kerusakan hutan jati terus
bertambah, sedang dilain pihak terjaminnya hasil kayu jati yang kekal semakin
diyakini oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam rangka ini banyak pejabat Hindia
Belanda yang mengingatkan kembali perlunya mewujudkan konsep Daendels secara
sungguh-sungguh. Salah satu keputusan untuk merealisir ide Daendels itu, pada
tahun 1849 dibentuk sebuah tim yang ketuai oleh seorang sarjana kehutanan
berkebangsaan Jerman bernama Mollier, yang dibantu oleh dua orang juru ukur.
Biarpun
tidak terlalu cepat, dan pada umumnya untuk kegiatan kehutanan memang begitu,
akhirnya hasil tim Mollier itu sangat nyata, yaitu dikeluarkannya Undang-Undang
Kehutanan untuk Jawa dan Madura yang pertama tahun 1865, serta diumumkannya
peraturan agraria (Domeinverklaaring)
tahun 1870. Dengan keluarnya Domeinverklaaring
itu, maka batas kawasan hutan di pulau Jawa dan Madura menjadi jelas. Adanya
Undang-Undang Kehutanan mendorong perlunya disusun peraturan-peraturan, dan
untuk itu diperlukan banyak sekali data dan informasi, yang menyebabkan
kegiatan pekerjaan teknik kehutanan serta penelitian dan pengembangan semakin
bergairah.
Tindak
lanjut hasil dari Mollier cukup banyak. Pemerintah Kerajaan Belanda mengirim
banyak mahasiswanya untuk belajar di Akademi Kehutanan di Tarrant, Jerman. Ahli
kehutanan bangsa Belanda lulusan Jerman itu akhirnya banyak memberi sumbangan
yang sangat penting dalam era persiapan pengelolaan hutan lestari ini. Pada
tahun1873, Buurman, seorang Kepala Distrik Hutan (KDH), membuat percobaan
tumpangsari di daerah hutan Batang dan berhasil dengan baik. Hasil percobaan Buurman
ini kelak terus disempurnakan sampai akhirnya tahun 1935 secara resmi oleh Boschwezen dijadikan Petunjuk Teknik
Pembuatan Tanaman untuk Hutan Jati.
Pada
tahun 1892, usulan Bruinsma tentang pembentukan organisasi teritorial yang
dinamakan Houtvesterij di terima.
Digabungkan dengan konsep Boschafdeling
(bagian Hutan) yang telah dirumuskan oleh tim Mollier, akhirnya penataan hutan
dapat dilaksanakan di lapangan (Simon, 1994). Konsep Bruinsma inilah yang
dimaksudkan dengan “konsep riel” pengelolaan hutan lestari yang baru saja
disebutkan diatas. Hasilnya, pada tahun 1898 Rencana Perusahaan (RP) yang
pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara dapat diselesaikan. Beberapa karya
besar tersebut menjadi kunci yang membuat kelestarian pengelolaan hutan jati di
Jawa dapat terjamin sampai sekarang.
Dengan
berhasilnya disusun RP yang pertama, yang kemudiaan di susul RP untuk Bagian
Hutan yang lain, maka berakhirlah periode trial
and error. Selanjutnya, sejak tahun 1898 pengelolaan hutan berdasarkan
prinsip kelestarian hasil mulai dapat dilaksanakan denhan baik, sambil
memperbaiki semua petunjuk teknis dan sistem administrasi maupun organisasi
yang diperlukan. Dengan demikian, awal pengelolaan hutan lestari pada hutan
jati dapat disebut tahun 1892, yaitu diterimanya konsep Bruinsma tentang Houtvesterij, atau tahun 1898, yaitu
selesainya RP yang pertama berdasarkan konsep Bruinsma tersebut. Atas dasar
itu.
Kalau
dikaji lebih mendalam, konsep pengelolaan hutan lesatari yang lahir di Jerman
dan kemudiaan di tiru untuk membangun hutan jati di Jawa tersebut dapat
berhasil dengan baik karena syarat-syarat yang diperlukan sudah ditangan dan
dapat diwujudkan dilapangan. Syarat-syarat tersebut adalah (Simon, 1995) :
1. Sudah
dapat dirumuskan sistem permudaan kembali yang menjamin keberhasilan pembuatan
tanaman di lapangan, termasuk teknik silvikultur, prosedur kerja, organisasi
pelaksana dan biaya.
2. Tidak
terjadi over-cutting dalam tebangan,
sehingga untuk itu harus sudah dimiliki teknik inventore dan sistem perhitungan
etat yang baik, dan instrumen pelaksanaan pekerjaan juga sudah lengkap dengan
kinerja yang baik pula.
3. Batas
kawasan hutan sudah dapat di tetapkan dan diakui oleh semua pihak, baik
instansi pemerintah non kehutanan maupun masyarakat luas.
Untuk mewujudkan
syarat yang pertama, hutan jati di
Jawa memerlukan waktu lebih dari satu abad. Petunjuk Teknik Pembuatan Tanaman
baru dapat di umumkan secara resmi oleh Boschwezen
pada tahun 1935, berdasarkan tulisan Buurman tahun1883 (De Djaticultuur) dan percobaan serta pelaksanaan di lapangan
sejak tahun 1873. Petunjuk pembuatan tanaman yang pertama adalah laporan
Gubernur Overstraten, petunjuk kedua
peraturan yang di buat oleh daendels, sedang petunjuk ketiga tercantum dalam Reglement pemerintah tahun 1930. De
Djaticultuur sendiri merupakan petunjuk pembuatan tanaman yang kelima,
setelah sebelumnya sistem permudaan alam pernah diumumkan oleh Mollier pada
tahun 1865. Sistem ini dikenal dengan nama Blandongcultuur.
Persyaratan kedua dapat
diselesaikan pada tahun 1938 dengan keluarnya Petunjuk Pembuatan Rencana
perusahaan Tetap. Sistem ini disusun atas dasar konsep Mollier yang mulai
bekerja pada tahun 1849, digabung dengan konsep Bruinsma yang mulai
menyelesaikan RP pertama pada tahun 1898. Jadi, untuk merumuskan petunjun
inventore dan sistem perhitungan etat juga memerlukan waktu hampir satu abad.
Itupun kedua petunjuk itu sekarang sudah perlu direvisi, atau bahkan diperlukan
teknik inventore maupun sistem perhitungan etat yang sama sekali baru.
Persyaratan
yang ketiga, batas kawasan hutan, lebih pelik lagi. Padahal, waktu itu
intensitas masalah sosial-ekonomi masyarakat masih jauh lebih kecil kalau
dibandingkan dengan keadaan sekarang. Bagian yang paling sulit untuk keperluan
ini adalah menyelesaikan hak ulayat, hak masyarakat setempat atas pengusahaan
hutan disekitar desanya. Dengan perlahan-lahan, namun pasti, masalah ini
diselesaikan secara sistematis, khususnya melalui kebijakan Blandongdiensten, sampai akhirnya dapat di umumkan Domeinverklaaring pada tahun 1870,
setelah sebelumnya berhasil digulirkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa
Madura yang pertama pada tahun 1865.
II.
Periodel Timber Management Pertama
Karena
unsur pengelolaan hutan lestari dirasakan telah mulai dikuasasi, pada tahun
1890 pemerintah Hindia Belanda membentuk Djatibedrijfs
Perusahaan Jati). Tugas Djatibedrijfs, yang merupakan badan usaha profesional milik
pemerintah Hindia Belanda (BUMN), adalah untuk memperoleh keuntungan sambil
membangun pengelolaan hutan jati agar produktivitasnya terus meningkat. Berkat penanganan pengelolaan yang
profesional itu, maka sistem pengelolaan hutan jati di Jawa memang dapat
dikembangkan secara sistematik. Sepanjang
paruh tahun pertama abad ke-20 karya-karya besar lainnya muncul, melengkapi apa
yang telah dilahirkan dalam paruh kedua abad ke-19. Karya-karya baru tersebut yang terpenting
adalah sistem penjangan oleh Hart (1928).
Tabel tegakan normal oleh Wolf
Von Wulffing (1932) yang dilengkapi oleh Ferguson (1935), penelitian tentang sifat-sifat silvikultur
jati oleh Coster (1932) yang merupakan elemen-elemen utama untuk menyusun
sistem pengelolaan hutan tanaman.
Periode
pelaksanaan timber management pertama
secara operasional dimulai dengan selesainya penyusunan rencana perusahaan yang
pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara.
Isi rencana perusahaan dititikberatkan pada penyusunan rencana kegatan
teknik kehutanan yang dapat menjamin terwujudnya kelestarian hasil kayu
pertukangan. Rencana kegiatan teknik
kehutanan tersebut adalah pemanenan, permudaan kembali, dan pemeliharaan
tegakan. Dalam kegiatan pemanenan ada
dua kegiatan pokok, yaitu inventore tegakan untuk mengetahui potensi dan
perhitungan etat untuk menghitung volume tebangan tahunan yang volume tidak
melampauhi kemampuan tumbuh (riap)
tegakan pada unit kelestarian (bagian hutan) yang bersangkutan.
Di
bidang permudaan kembali, setelah ada percobaan-percobaan sejak tahun 1796,
telah ditemukan sistem buatan yang dikemukakan dan diuji-cobakan oleh Buurman sejak
tahun 1773. Sistem ini kemudian dikenal
dengan nama tumpang sari yang memang terbukti menghasilkan hutan tanaman jati
yang sangat bagus dengan biaya murah.
Sistem tumpang sari ini memberi sumbangan yang cukup besar dalam
pelaksanaan timber management periode
pertama, karena dapat memberi jawaban yang meyakinkan bagi rimbawan untuk
melestarikan potensi hutan di lapangan sehingga asas kelestarian hasil dapat
terwujud.
Dengan
pengalaman menyusun dan melaksanakan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip
kelestarian mulai tahun 1898 itu, dan pelaksanaan pengelolaan oleh sebuah
organisasi profesional, maka pengalaman demi pengalaman depat dikumpulkan dan
khasanah ilmu pengetahuan pengelolaan hutan jati menjadi semakin kaya. Pengalaman panjang melaksanakan pembuatan
tanaman dengan sistem tumpang sari kemudian dituangkan dalam petunjuk teknis
pembuatan tanaman jati yang diterbitkan pada tahun 1935. Setelah didiskusikan secara intensif, hasil
penelitian penjarangan yang dilakukan oleh Hart pada tahun 1927 dijadikan dasar
untuk menyusun petunjuk teknis penjarangan hutan tanaman jati yang diumumkan
pada tahun 1937.
Setelah
petunjuk teknik inventore dan pengaturan hasil dapat disempurnakan, maka pada
tahun 1938 diumumkan sebuah petunjuk penyusunan rencana perusahaan pada hutan
jati yang merangkum semua instruksi yang telah diumumkan oleh Boschwezen. Dengan diumumkannya petunjuk ini, maka
“sempurnalah” instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan pengelolaan hutan
jati modern untuk menghasilkan kayu
pertukanan.
Dari
tahun-tahun yang menerangkan penyelesaian instrumen pengelolaan (management instrument) tersebut dapat
diketahui konsistennya upaya yang dilakukan untuk membangun sistem pengelolaan
hutan jat pada waktu itu. Di samping
konsistensi, prestasi tersebut tentu didukung oleh dedikasi rimbawan yang
sangat tinggi. Sikap ini kelak terbukti
karena rimbawan mempunyai semangat korps yang tinggi pula sehingga mendorong
etos kerja yang dikenal pantang menyerah sebelum mencapai hasil yang dicita-citakan.
Kunci
keberhasilan Djatiberijfs adalah:
-
Dibangunnya organisasi
perencanaan mandiri dan profesional sejak tahun 1982 yang dinamakan Brigade Planologi. Organisasi ini bertanggung jawab langsung
kepada Menteri pertanian, tidak kepada Boschwezen
apalagi kepada pimpinan Djatibedrijfs.
-
Etos kerja rimbawan
tinggi, jiwa korsa kuat dan kejujuran dikontrol ketat melalui moral rimbawan,
organisasi dan sistem administrasi yang teratur rapi.
-
Djatiberijfs
selalu merespon positif setiap inovasi yang muncul, dengan memelihara hubungan
baik dengan perguruan tinggi. Antara
tahun 1919-1935 telah dihasilkan dua doktor yang melakukan penelitian pada
hutan di Jawa dan semuanya menghasilkan karya yang monumental.
-
Dengan dibentuknya LPH
pada tahun 1913, walaupun sebelumnya kegiatan penelitian sudah dilaksanakan,
maka penelitian yang dirancang secara berkesinambungan dengan hasil-hasil
antara lain telah disebutkan sebelumnya.
III.
Timber Management Kedua
Kurang
dari empat tahun setelah petunjuk penyusunan rencana perusahaan tetap diumumkan
oleh Boschwezen, di Indonesia terjadi
perubahan politik yang sangat penting.
Pada bulan maret 1942, pemerintah kolonial Belanda harus menyerah tanpa
syarat kepada Bala tentara Nippon dan sejak itulah kontrol indonesia kemudian
berada di tangan tentara penduduk Jepang.
Ini merupakan akhir pengelolaan hutan jati di Indonesia oleh Hindia
Belanda.
Dengan
berakhirnya kewenangan Hindi Belanda dalam pengelolaan hutan di Jawa, dalam
periode timber manajemen kedua ini mengalami lima periode tahap pelaksanaan
yakni:
-
Masa Chaos (Pendudukan Jepang dan perang
kemerdekaan), 1942-1949.
-
Masa adem ayem, masa jawatan kehutanan,
1950-1963
-
Masa transisi
perkenalan masalah sosial, 1963-1974.
-
Masa perumusan
pengelolaan masalah sosial, 1974-1986
-
Masa uji coba
pengelolaan kehutanan sosial, 1986 sampai sekarang.
IV.
PENUTUP
Langkah-langkah
kebijakan pembanguan hutan Jati di Jawa Oleh Hindia Belanda dilakukan secara
cermat, sungguh-sunggu dan sangat
hati-hati serta membutuhkan waktu yang sangat lama. Hasil dari perjalan yang panjang ini
memberikan hasil dengan bukti baik hard
ware berupa hutan jati yang baik, maupun soft ware berupa instrumen pengelolaan yang baik.
SUMBER
BACAAN
Simon,
Hasanu., 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan Untuk Strategi kehutanan Sosial. Aditya Media. Yogyakarta
Simon, Hasanu.,
2002. Cultuurstelsel I: Program
Pembangunan Perkebunan. Serasah, Media
Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Hutan Jati Optimal, Vol. III, No. 25,
Oktober 2002. Yogyakarta
Simon, Hasanu.,
2004. Aspek Sosio Teknis Pengelolaan Hutan di Jawa. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Simon, Hasanu.,
2004. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Simon,
Hasanu., 2007. Mentap ke depan Hutan
Indonesia. Prosiding. Membangun KPH
keharusan untuk Hutan Indonesia Lestari. Debut Prass. Yogyaka
Simon, Hasanu.,
2007. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori
dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Simon, Hasanu.,
2007. Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Hutan, Jilid I Timber Management.
Bahan Ajar. Jogjakarta.
Simon,
Hasanu., 2008. Kebijakan Hutan Lanjut.
Bahan Ajar Pascasarjana Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.