Rabu, 06 Februari 2013

PERSOALAN PROPERTY RIGHT DAN AKSI KOLEKTIF PADA KASUS OKUPASI LAHAN DI DONGI-DONGI TAMAN NASIONAL LORE LINDU

Oleh: Sudirman Dg. Massiri, M.Sc       
I.  PENDAHULUAN
1.1.         Latar Belakang
Seiring dengan pertambahan penduduk dengan laju yang tinggi dan berkembangnya kegiatan lahan pertanian menyebabkan sumberdaya lahan menjadi sangat penting.  Keadaan ini membawa konsekuensi tekanan terhadap permintaan (demand) terhadap lahan untuk berbagai keperluan seperti keperluan perluasan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan dan berbagai kegiatan lain.  Sumberdaya lahan akan menjadi semakin langka ketika terjadi ketimpangan antara permintaan dan penawaran sumberdaya lahan.  Kelangkaan sumberdaya lahan bukan hanya disebabkan oleh terbatasnya persediaan secara fisik, tetapi juga karena  kendala-kendala kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan dalam kaitannya dengan hak-hak akses (Property right) atas lahan.   
Menurut Hubaceck dan Vazquez (2002) penggunaan lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik, meliputi kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan pengguna dalam menggunakan sumberdaya lahannya. Kedua, institusi, sebagai “rules of the game” di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang berinteraksi. Ketiga, secara terbatas, kekuatan ekonomi, penawaran (supply) dan permintaan (demand) adalah pembentuk penggunaan lahan dewasa ini.
Pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, yang telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam di daerahnya, ternyata  belum juga mampu menyelesaikan persoalan dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Sampai saat ini,  konflik hak kepemilikan atas lahan, masih sering terjadi. Perbedaan persepsi dan ketidak jelasan tentang property right baik dalam bentuk hak kepemilikan maupun dalam bentuk hak kelola menyebabkan masalah ini semakin berlarut.
Pertumbuhan penduduk yang kian meningkat dan ketergantungan terhadap lahan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan berimplikasi terhadap meningkatnya tekanan terhadap lahan. Kondisi tersebut merupakan salah satu driving factor yang mendorong dan memaksa masyarakat untuk melalukan okupasi lahan hutan.  Selain itu, peran masyarakat dalam hak property di kehutanan pada tataran implementasi hingga sekarang belum tegas sehingga masyarakat kelihatannya masih ada yang mempersepsikan bahwa masyarakat merupakan destruction factor bukan sebagai construction factor. Kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan belum dipahami sebagai potensi teknologi yang telah dimiliki oleh masyarakat dan terbukti mereka mampu hidup harmonis dengan alam.
Persoalan property right juga terjadi di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah.  Persoalan property right di Taman Nasional Lore Lindu adalah konflik lahan antara masyarakat  sekitar Taman Nasional Lore Lindu dengan pemerintah dimana masyarakat menuntut lahan dan kepastian dalam pengelolaan.    Sejak Tahun 2001 Masyarakat yang berasal dari empat desa yakni desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia, dan Rahmat kecamatan Palolo Kabupaten Sigibiromaru melakukan aksi kolektif mengokupasi lahan di Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu. Hingga saat ini jumlah masyarakat di Dongi-dongi Taman Nasional lore Lindu saat ini sudah lebih dari 1.030 KK (regional.kompas.com)
Aksi kolektif dapat terwujud karena adanya kepentingan bersama (Gautman dan Shivakoti, 2005).  Kesamaan kepentingan masyarakat dari empat desa tersebut dan adanya terkoordinasi mendorong munculnya aksi bersama yang berhasil mengokupasi lahan. Luas lahan yang diokupasi oleh masyarakat di Taman Nasional Lore Lindu adalah 3.000 Ha yang terletak di zona inti Taman Nasional.
Aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat di Dongi-dongi bukan hanya bentuk okupasi lahan, akan tetapi aksi kolektif tersebut diwujudkan dalam upaya untuk melestarikan alam yang telah dirambahnya.  Menurut Nur Alim (2011) etnis yang bermukim di sana baik etnis Da’a dan  kulawi, telah membentuk institusi tersendiri yang berlaku di daerah tersebut yang mengatur tentang kepemimpinan dan pemanfaatan untuk kelestaraian sumberdaya hutan.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan persoalan property right dan aksi kolektif yang dilakukan oleh  masyarakat di Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu dalam melakukan okupasi lahan dan upaya mereka dalam melestarikan alam.
Uraian dalam makalah ini adalah persoalan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan sehingga makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam mengembangkan pemahaman penulis tentang masalah kelembagaan kehutanan. Selain itu makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan arah pembangunan kehutanan di masa akan datang.


II.        PEMBAHASAN

2.1.    Persoalan Property right
Masyarakat yang kini bermukim di Dongi-dongi Taman Nasional lore Lindu pada awalnya merupakan masyarakat transmigran lokal yang ditempatkan di empat desa yakni Desa Kamaora A, Kamarora B, Kadidia dan Desa Rahmat.  Pada awalnya mereka adalah komunitas yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan dan mempunyai ketergantungan dengan hutan. Proyek transmigrasi lokal memaksa mereka untuk bergeser menjadi masyarakat pertanian lahan basah tanpa ada bimbing intensif dari pemerintah.  Ternyata proyek ini gagal dan menimbulkan dampak lain, karena lahan yang dijanjikan oleh pemerintah seluas  2 ha tidak dipenuhi , melainkan hanya 0,8-1 ha, yang ini dianggap tidak dapat memenuhi standar hidup layak. Hal inilah yang mendorong mereka untuk melakukan okupasi lahan di Wilayah Dongi-dongi Taman nasional Lore Lindu.
Sebelum ditetapkan sebagai Kawasan Taman nasional, Wilayah Dongi-Dongi di Taman Nasional Lore Lindu, awalnya merupakan lahan bekas areal konsesi HPH PT  Kebun Sari pada Tahun 1970.  Pada waktu itu, masyarakat empat desa ini, banyak yang bekerja sebagai buruh di perusahaan tersebut, dan pada waktu senggang, mereka menanam kopi dan kakao yang hingga kini masih terawat dengan baik.  Bahkan ada sebagian masyarakat yang sudah menanam kopi sebelum perusahaan kayu tersebut beroperasi.  Hal inilah merupakan alasan kuat mereka mengokupasi lahan di wilayah tersebut (regional.kompas.com).
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat Common pool resources (CPRs) yang sering menimbulkan konflik pemanfaatan (Schlager dan Ostrom, 2005).  Persoalan kelembagaan tersebut menyebabkan biaya ekslusi yang tinggi. Sejak tahun 2002 berbagai upaya pemerintah untuk mengeluarkan masyarakat tersebut dari Taman Nasional Lindu namun tidak berhasil, bahkan menimbulkan kriminal.  Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut menimbulkan biaya yang tinggi yang kemungkinan sudah tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari Taman Nasional tersebut. Ostrom (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh Negara banyak yang berhasil akan tetapi menghadapi banyak tantang konflik dengan masyarakat dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi.  Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi tetapi dapat diprediksi. Hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi.
Agar hak dapat ditegakkan maka diperlukan persyaratanpersyaratan tertentu, yaitu: (a) Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya; (b) Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara; (c) Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi; dan (d) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Rejim hak kepemilikan (property regime/institutional arrangement) terdiri dari : (a) hak milik pribadi (private property), (b) milik Negara (state property), (c) hak milik bersama/komunal/adat/ulayat (communal property), (d) milik umum (public property), (e) hak atas manfaat (user rights), dan (f) tidak berpemilik (open access property or noproperty right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (a) dapat diperjual belikan (tradable), (b) dapat dipindah tangankan (transferable); (c) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (d) dapat ditegakkan hakhaknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya.
Hak property bukan bermakna sempit sebagai hak kepemilikan (ownership) saja, yang sering sekali menjadi isu yang sensitif ketika kita membicarakannya dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia.  Hak property mencakup pengertian yang luas dan tidak sekedar hak, tetapi juga kewajiban dan aturan (Ostrom, 2003).  Untuk mendapat legitimasi, klaim atas sumberdaya tersebut harus diakui secara kolektif oleh masyarakat. Konflik akan muncul ketika terdapat klaim yang berbeda atas sumberdaya tertentu yang ditopang oleh sumber legitimasi yang berbeda.
Selain klaim atas sumberdaya tertentu,  seringkali diatur dalam peraturan dan hukum yang beragam, baik hukum Negara, hukum lokal, hukum agama, hukum adat dan lain-lain.  Namun Gulliet (1998) aturan dengan sumber yang berbeda tidak berada dalam kondisi yang saling mengisolasi satu sama lain, tetapi saling berinteraksi, mempengaruhi, dan saling mendukung.  Oleh karena itu, jalan terbaik adalah negosiasi, karena peraturan dan hukum merupakan sesuatu yang bisa dinegosiasikan, diintrepretasikan dan diubah.
Menurut Irimie and Essmann (2009), property right tidak statis tetapi selalu berubah berdasarkan perode ekonomi, politik dan perubahan sosial. Transformasi  property right pada kasus Dongi-Dongi Taman Nasional Lore Lindu telah menggeser dari common property menjadi state property dan akhirnya dituntut kembali oleh masyarakat menjadi private property namun ada aturan secara komunal di dalamnya. Menurut Battacharya and Lueck, 2009) regim property right akan berubah sepanjang waktu dari yang kurang efisien menjadi lebih efisien.  Jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan, masyarakat etnis Da’a dan etnis kulawi  sudah berinteraksi dengan hutan di daerah tersebut dengan mengambil damar rotan dan hasil hutan lainnya.   Pemberian izin konsesi HPH pada tahun 1970-an pada awalnya memang memberi peningkatan pendapatan kepada masyarakat lokal, tetapi tanpa disadari telah menggeser nilai-nilai lokal masyarakat.  Akses masyarakat tersebut setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional menjadi semakin terbatas.
Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common property yang dimiliki oleh komunal lokal menjadi property pemerintahan negara telah terbukti menjadi predesen yang buruk bagi keberlanjutan sumberdaya alam.  Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering sekali tidak memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumberdaya. Masalah yang muncul adalah terjadinya biaya yang cukup tinggi untuk membatasi dan mencegah akses pengguna potensial ( Rustiadi et.all., 2009).
Pemindahan hak milik (penguasaan) kadang-kadang mengganggu keberlanjutan ketersediaan sumberdaya di mana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi.  Proses transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh masyarakat adat atau lokal menjadi sumberdaya milik negara di berbagai negara telah mengarahkan pada: a).  penghilangan kelembagaan kearifan lokal, b). terjadinya situasi di mana kapasitas monitoring institusi negara menjadi lemah, terutama pada sumberdaya yang berskala luas dan kompleks yang diklaim sebagai kekuasaan negara dan c). pemanfaatan sumberdaya terjebak pada kondisi deface open akses dan kecenderungannnya para pihak berlomba untuk memanfaatkan sumberdaya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing.
2.2.  Aksi Kolektif Masyarakat di Dongi-Dongi.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat dari empat desa di wilayah Dongi-dongi Taman nasional lore lindu merupakan bentuk aksi bersama secara terkoordinasi sehingga berhasil.  Luas lahan yang telah diokupasi oleh masyarakat sekarang ini sudah mencapai luas 3.000 ha. Kebiasaan bercocok tanam pertanian lahan kering kembali dipraktekkan oleh mereka sebagai mata pencaharian utama.  Hutan yang rapat kini menjadi pemukiman dan lahan pertanian dengan pola agroforestri.
Aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut bukanya hanya dalam wujud okupasi lahan. Akan tetapi, ternyata mereka mempunyai nilai-nilai kearifan yang secara kolektif untuk menjaga kelangsungan sumberdaya alamnya.  Dari 1.030 KK yang telah ada yang tersebar berdasarkan empat blok di Dongi-dong telah  mampu membuat institusi lokal yang mengatur sistem kepemimpinan dan aturan pemanfaatan sumberdaya lahan.
 Aksi kolektif dapat digunakan sebagai keinginan untuk menentang institusi property right, politik dan institusi cultural yang ada (MCCulloch et. al., 1998). (Dick and Dregorio, 2004) Aksi kolektif dapat didefinisikan sebagai aksi Voluntery yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk tujuan bersama. Dalam konteks institusi, aksi kolektif juga dipahami sebagai suatu aksi terkoordinasi yang dilakukan oleh unsur-unsur di dalam struktur pemerintahan dan para pihak dalam mencapai tujuan bersama.
Varughese and Ostrom (2001) menyatakan bahwa Masyarakat dapat mengatur lembaga mereka sendiri dalam rangka meningkatkan kegiatan kolektif. Melalui pembentukan tata kelola sistem pengelolaan sendiri sumber daya, anggota juga dibuat menyadari hak-hak mereka, tanggung jawab, tugas, dan manfaat dari berbagi informasi. Menurut Nur Alim (2011) aturan lokal yang digagas untuk mempertahankan kelestaraian alam di wilayah Dongi-dongi adalah adanya larangan penambahan lahan garapan. Setiap KK hanya diberikan lahan pengelolaan seluas 2 ha.  Selain itu, kelembagaan yang dibentuk ini akan membatasi penambahan anggota baru. Mereka percaya bahwa mereka mampu hidup berdampingan dengan alam karena memang sebelumnya sudah terbiasa hidup dalam hutan. Pemanfaatan lahan untuk pertanian dilakukan oleh mereka dengan mengkombinasikan antara taman pertanian dengan tanaman kehutanan. 
Hutan merupakan salah satu wujud Common pool Resources (CPRs).  Karakteristik khusus bagi CPRs dan penggunanya akan mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut.  Semakin seragam, sederhana dan semakin kecil skala sumberdaya dan ukuran kelompok, maka semakin mudah merancang institusi (Simpson et.al., 2012). Menurut Rustiadi et.al., (2009) karakteristik yang kondusif bagi keberhasilan penatalaksanaan meliputi: berukuran kecil, memiliki batas sumberdaya yang jelas, memiliki eksternalitas negatif yang kecil, kemampuan pengguna untuk memonitor cadangan dan aliran sumberdaya, tingkat penggunaan yang moderat (tidak berlebihan) sumberdaya tidak digunakan melebihi kemampuan dalam mencegahnya dari kerusakan, dan dinamika sumberdaya alam dipahami dengan baik oleh pengguna
 Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) meyakini masyarakat mampu menciptakan tatanan agar tidak terjadi over eksploitasi. Mereka mengatakan bahwa banyak buktibukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksiaksi kolektif yang mereka bangun (Nugroho dan Kartodihardjo 2009).


III.           PENUTUP

Transformasi penguasaan sumberdaya hutan dari common property yang dikuasi oleh masyarakat lokal dan adat ke penguasaan oleh Negara atau state property seolah mematikan nilai-nilai sosial.  Akan tetapi, penguasan dalam bentuk state property dibeberapa daerah di Indonesia ternyata juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian sumberdaya hutan dan justru banyak menjadi open akses serta menimbulkan konflik lahan.  Aksi kolektif masyarakat Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu dalam melakukan okupasi lahan dan kesadaran kolektif untuk melestarikan alamnya merupakan modal sosial yang sepatutnya dipertimbangkan.  Okupasi lahan yang dilakukan masyarakat tersebut kelihatannya merupakan upaya untuk mentransformasi lagi state property menjadi private property.  Meskipun lahan di Dongi-dongi sekarang ini telah dimiliki secara pribadi namun mereka dengan sukarela membentuk institusi dalam pemanfaatan lahan agar tidak terjadi oversue. Pemerintah mestinya menyadari bahwa masyarakat mempunyai modal sosial dalam mengelola lahan dan sebaiknya tidak fokus lagi untuk mengeluarkan mereka dari kawasan tersebut karena akan menimbulkan biaya yang cukup tinggi.


DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharya, H and D, Lueck., 2009.  The Role Property Rights in Determining The Environmental Quality – Income Relationship. Ecological Economic. Elsivier .
Dick, R.M and M.D Drigerio., 2004.  Collective action and  Property Rights for Sustanable Development. International Food and Policy Research Institute. Washington
Gautam, A.B. and Shivakoti, G.P. 2005. Conditions for Successful Lokal Collective Action in Forestry: Some Evidence From the Hills of Nepal. Society and Natural Resources, 18:153–171, 2005. Taylor & Francis Inc.
Hubacek, K. dan J. Vazquez. 2002. The Economics of Land Use Change. International Institute for Applied System Analysis. Schlossplatz 1 A-238 Laxenburg. Austria.
Irimie, D.L and H.F Essmann., 2009.  Forest property Right In The frame of Public Policies and Societal Change. Forest policy and Economic 11. 2009. Elsivier.
McCulloch, A.K, R.M Dick, and P Hazzel. 1998.  Property right, Collective action and technologies for Resources Management: A Conceptual Framework . International Food and Policy Research Institute. Washington
North, D.C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. New York. USA.
Nugroho, B., dan H. Kartodihardjo. 2009. Kelembagaan PES; Permasalahan, Konsep, dan Implementasi. Disampaikan pada Lokakarya Payment on Environmental Services (PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren dan Dinamikanya. Bogor, 34 Agustus 2009.
Nur Alim, L., 2011. Faktor-faktor yang menyebabkan perambahan hutan di Dongi-Dongi Taaman nasional Lore Lindu. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako.
Ostrom, E. 2003.  How Type of Goods and Property Rights Jointly Affect Collective action. Journal of Theoritical Politics Vol. 15 (3).
Ostrom, E. 2008. . Institutions and the environment. Jurnal Compilation. Oxford, UK: Blackwell Publising. Institute of Economic Affair
Regional.kompas.com. Akhirnya Warga Dongi-dongi mengadu ke Gubernur. Diunduh tanggal 13 Desember 2012.
Rustiadi, E., S. Saefulhakim., D.R Panuju., 2009.  Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press dan Yayasan Obor. Jakarta
Schager, E and E, Ostrom., 2005.  Property-Rights Regimes and Natural resources: A Concept Analys.  Land Economic 68 (3).
Simpson B., R. Willer and Ridgeway, C.L., 2012. Status Hirarchies and the Organization of Collective action. Sociological Theory. Vol. 30 (3)
Varughese G and Ostrom E. 2001. The Contested role of Heterogeneity in Collective Action: Some Evidence from Community Forestry in Nepal. Jurnal World Development  29(5):747-765. Great Britain: Elsevier Science Ltd.  PII: S0305-750X(01)00012-2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar