Oleh: Sudirman Dg. Massiri, M.Sc
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seiring
dengan pertambahan penduduk dengan laju yang tinggi dan berkembangnya kegiatan
lahan pertanian menyebabkan sumberdaya lahan menjadi sangat penting. Keadaan ini membawa konsekuensi tekanan
terhadap permintaan (demand) terhadap
lahan untuk berbagai keperluan seperti keperluan perluasan lahan pertanian,
perkebunan, pemukiman, pertambangan dan berbagai kegiatan lain. Sumberdaya lahan akan menjadi semakin langka
ketika terjadi ketimpangan antara permintaan dan penawaran sumberdaya
lahan. Kelangkaan sumberdaya lahan bukan
hanya disebabkan oleh terbatasnya persediaan secara fisik, tetapi juga
karena kendala-kendala kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan dalam
kaitannya dengan hak-hak akses (Property
right) atas lahan.
Menurut
Hubaceck dan Vazquez (2002) penggunaan lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok
faktor. Pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik, meliputi
kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit
pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan pengguna dalam menggunakan
sumberdaya lahannya. Kedua, institusi, sebagai “rules of the game”
di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan
orang berinteraksi. Ketiga, secara terbatas, kekuatan ekonomi, penawaran
(supply) dan permintaan (demand) adalah pembentuk penggunaan
lahan dewasa ini.
Pengelolaan
sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, yang telah memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan dan mengelola
sumberdaya alam di daerahnya, ternyata belum juga mampu menyelesaikan persoalan dalam
pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Sampai saat ini, konflik hak kepemilikan atas lahan, masih sering
terjadi. Perbedaan persepsi dan ketidak jelasan tentang property right baik dalam bentuk hak kepemilikan maupun dalam
bentuk hak kelola menyebabkan masalah ini semakin berlarut.
Pertumbuhan
penduduk yang kian meningkat dan ketergantungan terhadap lahan oleh masyarakat
di sekitar kawasan hutan berimplikasi terhadap meningkatnya tekanan terhadap
lahan. Kondisi tersebut merupakan salah satu driving factor yang mendorong dan memaksa masyarakat untuk
melalukan okupasi lahan hutan. Selain
itu, peran masyarakat dalam hak property di kehutanan pada tataran implementasi
hingga sekarang belum tegas sehingga masyarakat kelihatannya masih ada yang
mempersepsikan bahwa masyarakat merupakan destruction
factor bukan sebagai construction factor.
Kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan belum dipahami sebagai potensi
teknologi yang telah dimiliki oleh masyarakat dan terbukti mereka mampu hidup
harmonis dengan alam.
Persoalan property right juga terjadi di Taman
Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah.
Persoalan property right di
Taman Nasional Lore Lindu adalah konflik lahan antara masyarakat sekitar Taman Nasional Lore Lindu dengan
pemerintah dimana masyarakat menuntut lahan dan kepastian dalam
pengelolaan. Sejak Tahun 2001 Masyarakat
yang berasal dari empat desa yakni desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia, dan Rahmat
kecamatan Palolo Kabupaten Sigibiromaru melakukan aksi kolektif mengokupasi
lahan di Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu. Hingga saat ini jumlah
masyarakat di Dongi-dongi Taman Nasional lore Lindu saat ini sudah lebih dari
1.030 KK (regional.kompas.com)
Aksi
kolektif dapat terwujud karena adanya kepentingan bersama (Gautman dan
Shivakoti, 2005). Kesamaan kepentingan
masyarakat dari empat desa tersebut dan adanya terkoordinasi mendorong
munculnya aksi bersama yang berhasil mengokupasi lahan. Luas lahan yang
diokupasi oleh masyarakat di Taman Nasional Lore Lindu adalah 3.000 Ha yang
terletak di zona inti Taman Nasional.
Aksi
kolektif yang dilakukan oleh masyarakat di Dongi-dongi bukan hanya bentuk
okupasi lahan, akan tetapi aksi kolektif tersebut diwujudkan dalam upaya untuk
melestarikan alam yang telah dirambahnya.
Menurut Nur Alim (2011) etnis yang bermukim di sana baik etnis Da’a dan kulawi,
telah membentuk institusi tersendiri yang berlaku di daerah tersebut yang
mengatur tentang kepemimpinan dan pemanfaatan untuk kelestaraian sumberdaya
hutan.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Makalah ini
bertujuan untuk menguraikan persoalan property
right dan aksi kolektif yang dilakukan oleh
masyarakat di Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu dalam melakukan
okupasi lahan dan upaya mereka dalam melestarikan alam.
Uraian
dalam makalah ini adalah persoalan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya
hutan sehingga makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam mengembangkan
pemahaman penulis tentang masalah kelembagaan kehutanan. Selain itu makalah ini
dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan arah
pembangunan kehutanan di masa akan datang.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Persoalan
Property right
Masyarakat
yang kini bermukim di Dongi-dongi Taman Nasional lore Lindu pada awalnya
merupakan masyarakat transmigran lokal yang ditempatkan di empat desa yakni
Desa Kamaora A, Kamarora B, Kadidia dan Desa Rahmat. Pada awalnya mereka adalah komunitas yang
memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan dan
mempunyai ketergantungan dengan hutan. Proyek transmigrasi lokal memaksa mereka
untuk bergeser menjadi masyarakat pertanian lahan basah tanpa ada bimbing
intensif dari pemerintah. Ternyata proyek
ini gagal dan menimbulkan dampak lain, karena lahan yang dijanjikan oleh
pemerintah seluas 2 ha tidak dipenuhi , melainkan
hanya 0,8-1 ha, yang ini dianggap tidak dapat memenuhi standar hidup layak. Hal
inilah yang mendorong mereka untuk melakukan okupasi lahan di Wilayah
Dongi-dongi Taman nasional Lore Lindu.
Sebelum
ditetapkan sebagai Kawasan Taman nasional, Wilayah Dongi-Dongi di Taman
Nasional Lore Lindu, awalnya merupakan lahan bekas areal konsesi HPH PT Kebun Sari pada Tahun 1970. Pada waktu itu, masyarakat empat desa ini,
banyak yang bekerja sebagai buruh di perusahaan tersebut, dan pada waktu
senggang, mereka menanam kopi dan kakao yang hingga kini masih terawat dengan
baik. Bahkan ada sebagian masyarakat
yang sudah menanam kopi sebelum perusahaan kayu tersebut beroperasi. Hal inilah merupakan alasan kuat mereka
mengokupasi lahan di wilayah tersebut (regional.kompas.com).
Hutan merupakan
salah satu sumberdaya yang bersifat Common pool resources (CPRs) yang sering
menimbulkan konflik pemanfaatan (Schlager dan Ostrom, 2005). Persoalan kelembagaan tersebut menyebabkan
biaya ekslusi yang tinggi. Sejak tahun 2002 berbagai upaya pemerintah untuk
mengeluarkan masyarakat tersebut dari Taman Nasional Lindu namun tidak
berhasil, bahkan menimbulkan kriminal.
Upaya yang dilakukan pemerintah tersebut menimbulkan biaya yang tinggi
yang kemungkinan sudah tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari Taman
Nasional tersebut. Ostrom (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan yang
dilaksanakan oleh Negara banyak yang berhasil akan tetapi menghadapi banyak
tantang konflik dengan masyarakat dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Menurut North (1990) hak relatif mudah
ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran
manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi. Hak tidak
mudah ditegakkan (biaya penegakan mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah
dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat
diprediksi.
Agar hak
dapat ditegakkan maka diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu, yaitu: (a)
Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya; (b) Memperoleh
perlindungan komunitas dan Negara; (c) Hak kepemilikan memerlukan biaya
penegakan dan biaya eksklusi; dan (d) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan
tingkat kesulitan penegakannya. Rejim hak kepemilikan (property
regime/institutional arrangement) terdiri dari : (a) hak milik pribadi (private
property), (b) milik Negara (state property), (c) hak milik
bersama/komunal/adat/ulayat (communal property), (d) milik umum (public
property), (e) hak atas manfaat (user rights), dan (f) tidak
berpemilik (open access property or no‐property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan
adalah (a) dapat diperjual belikan (tradable), (b) dapat dipindah
tangankan (transferable); (c) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak
(excludable) dan (d) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Semakin
banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin
dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya.
Hak
property bukan bermakna sempit sebagai hak kepemilikan (ownership) saja, yang sering sekali menjadi isu yang sensitif
ketika kita membicarakannya dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di
Indonesia. Hak property mencakup
pengertian yang luas dan tidak sekedar hak, tetapi juga kewajiban dan aturan
(Ostrom, 2003). Untuk mendapat
legitimasi, klaim atas sumberdaya tersebut harus diakui secara kolektif oleh
masyarakat. Konflik akan muncul ketika terdapat klaim yang berbeda atas
sumberdaya tertentu yang ditopang oleh sumber legitimasi yang berbeda.
Selain
klaim atas sumberdaya tertentu,
seringkali diatur dalam peraturan dan hukum yang beragam, baik hukum
Negara, hukum lokal, hukum agama, hukum adat dan lain-lain. Namun Gulliet (1998) aturan dengan sumber
yang berbeda tidak berada dalam kondisi yang saling mengisolasi satu sama lain,
tetapi saling berinteraksi, mempengaruhi, dan saling mendukung. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah negosiasi,
karena peraturan dan hukum merupakan sesuatu yang bisa dinegosiasikan,
diintrepretasikan dan diubah.
Menurut
Irimie and Essmann (2009), property right
tidak statis tetapi selalu berubah berdasarkan perode ekonomi, politik dan
perubahan sosial. Transformasi property
right pada kasus Dongi-Dongi Taman Nasional Lore Lindu telah menggeser dari
common property menjadi state property dan akhirnya dituntut kembali
oleh masyarakat menjadi private property
namun ada aturan secara komunal di dalamnya. Menurut Battacharya and Lueck,
2009) regim property right akan berubah sepanjang waktu dari yang kurang
efisien menjadi lebih efisien. Jauh
sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan, masyarakat etnis Da’a dan etnis
kulawi sudah berinteraksi dengan hutan
di daerah tersebut dengan mengambil damar rotan dan hasil hutan lainnya. Pemberian izin konsesi HPH pada tahun 1970-an
pada awalnya memang memberi peningkatan pendapatan kepada masyarakat lokal,
tetapi tanpa disadari telah menggeser nilai-nilai lokal masyarakat. Akses masyarakat tersebut setelah ditetapkan
sebagai Taman Nasional menjadi semakin terbatas.
Kebijakan
yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common property yang dimiliki oleh komunal lokal menjadi property
pemerintahan negara telah terbukti menjadi predesen yang buruk bagi
keberlanjutan sumberdaya alam. Di
berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering sekali tidak memiliki
personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumberdaya. Masalah
yang muncul adalah terjadinya biaya yang cukup tinggi untuk membatasi dan
mencegah akses pengguna potensial ( Rustiadi et.all., 2009).
Pemindahan
hak milik (penguasaan) kadang-kadang mengganggu keberlanjutan ketersediaan
sumberdaya di mana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi
sumberdaya yang dieksploitasi. Proses
transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh
masyarakat adat atau lokal menjadi sumberdaya milik negara di berbagai negara
telah mengarahkan pada: a). penghilangan
kelembagaan kearifan lokal, b). terjadinya situasi di mana kapasitas monitoring
institusi negara menjadi lemah, terutama pada sumberdaya yang berskala luas dan
kompleks yang diklaim sebagai kekuasaan negara dan c). pemanfaatan sumberdaya
terjebak pada kondisi deface open akses dan kecenderungannnya para pihak
berlomba untuk memanfaatkan sumberdaya sebesar-besarnya untuk kepentingan
masing-masing.
2.2. Aksi Kolektif Masyarakat di Dongi-Dongi.
Upaya yang
dilakukan oleh masyarakat dari empat desa di wilayah Dongi-dongi Taman nasional
lore lindu merupakan bentuk aksi bersama secara terkoordinasi sehingga
berhasil. Luas lahan yang telah
diokupasi oleh masyarakat sekarang ini sudah mencapai luas 3.000 ha. Kebiasaan
bercocok tanam pertanian lahan kering kembali dipraktekkan oleh mereka sebagai mata
pencaharian utama. Hutan yang rapat kini
menjadi pemukiman dan lahan pertanian dengan pola agroforestri.
Aksi
kolektif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut bukanya hanya dalam wujud okupasi
lahan. Akan tetapi, ternyata mereka mempunyai nilai-nilai kearifan yang secara
kolektif untuk menjaga kelangsungan sumberdaya alamnya. Dari 1.030 KK yang telah ada yang tersebar
berdasarkan empat blok di Dongi-dong telah mampu membuat institusi lokal yang mengatur sistem
kepemimpinan dan aturan pemanfaatan sumberdaya lahan.
Aksi kolektif dapat digunakan sebagai
keinginan untuk menentang institusi property right, politik dan institusi
cultural yang ada (MCCulloch et. al.,
1998). (Dick and Dregorio, 2004) Aksi kolektif dapat didefinisikan sebagai aksi
Voluntery yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk tujuan bersama. Dalam
konteks institusi, aksi kolektif juga dipahami sebagai suatu aksi terkoordinasi
yang dilakukan oleh unsur-unsur di dalam struktur pemerintahan dan para pihak
dalam mencapai tujuan bersama.
Varughese
and Ostrom (2001) menyatakan bahwa Masyarakat dapat
mengatur lembaga mereka sendiri dalam rangka meningkatkan kegiatan kolektif.
Melalui pembentukan tata kelola sistem pengelolaan sendiri sumber daya, anggota
juga dibuat menyadari hak-hak mereka, tanggung jawab, tugas, dan manfaat dari
berbagi informasi. Menurut
Nur Alim (2011) aturan lokal yang digagas untuk mempertahankan kelestaraian
alam di wilayah Dongi-dongi adalah adanya larangan penambahan lahan garapan.
Setiap KK hanya diberikan lahan pengelolaan seluas 2 ha. Selain itu, kelembagaan yang dibentuk ini
akan membatasi penambahan anggota baru. Mereka percaya bahwa mereka mampu hidup
berdampingan dengan alam karena memang sebelumnya sudah terbiasa hidup dalam
hutan. Pemanfaatan lahan untuk pertanian dilakukan oleh mereka dengan mengkombinasikan
antara taman pertanian dengan tanaman kehutanan.
Hutan
merupakan salah satu wujud Common pool
Resources (CPRs). Karakteristik
khusus bagi CPRs dan penggunanya akan mempengaruhi institusi dalam mengatur
penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin
seragam, sederhana dan semakin kecil skala sumberdaya dan ukuran kelompok, maka
semakin mudah merancang institusi (Simpson et.al.,
2012). Menurut Rustiadi et.al.,
(2009) karakteristik yang kondusif bagi keberhasilan penatalaksanaan meliputi:
berukuran kecil, memiliki batas sumberdaya yang jelas, memiliki eksternalitas
negatif yang kecil, kemampuan pengguna untuk memonitor cadangan dan aliran
sumberdaya, tingkat penggunaan yang moderat (tidak berlebihan) sumberdaya tidak
digunakan melebihi kemampuan dalam mencegahnya dari kerusakan, dan dinamika
sumberdaya alam dipahami dengan baik oleh pengguna
Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa
para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom
(1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et
al. (2000) meyakini masyarakat mampu menciptakan tatanan agar tidak terjadi
over eksploitasi. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti‐bukti empiris
menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan
yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi
pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi‐aksi kolektif
yang mereka bangun (Nugroho dan Kartodihardjo 2009).
III.
PENUTUP
Transformasi
penguasaan sumberdaya hutan dari common
property yang dikuasi oleh masyarakat lokal dan adat ke penguasaan oleh
Negara atau state property seolah
mematikan nilai-nilai sosial. Akan
tetapi, penguasan dalam bentuk state
property dibeberapa daerah di Indonesia ternyata juga tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian sumberdaya hutan dan justru
banyak menjadi open akses serta menimbulkan konflik lahan. Aksi kolektif masyarakat Dongi-dongi di Taman
Nasional Lore Lindu dalam melakukan okupasi lahan dan kesadaran kolektif untuk
melestarikan alamnya merupakan modal sosial yang sepatutnya dipertimbangkan. Okupasi lahan yang dilakukan masyarakat
tersebut kelihatannya merupakan upaya untuk mentransformasi lagi state property menjadi private property. Meskipun lahan di Dongi-dongi sekarang ini
telah dimiliki secara pribadi namun mereka dengan sukarela membentuk institusi
dalam pemanfaatan lahan agar tidak terjadi oversue.
Pemerintah mestinya menyadari bahwa masyarakat mempunyai modal sosial dalam
mengelola lahan dan sebaiknya tidak fokus lagi untuk mengeluarkan mereka dari
kawasan tersebut karena akan menimbulkan biaya yang cukup tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Bhattacharya,
H and D, Lueck., 2009. The Role Property
Rights in Determining The Environmental Quality – Income Relationship.
Ecological Economic. Elsivier .
Dick,
R.M and M.D Drigerio., 2004. Collective
action and Property Rights for
Sustanable Development. International Food and Policy Research Institute.
Washington
Gautam,
A.B. and Shivakoti, G.P. 2005. Conditions for Successful Lokal Collective
Action in Forestry: Some Evidence From the Hills of Nepal. Society and
Natural Resources, 18:153–171, 2005. Taylor & Francis Inc.
Hubacek,
K. dan J. Vazquez. 2002. The Economics of Land Use Change. International
Institute for Applied System Analysis. Schlossplatz 1 A-238 Laxenburg. Austria.
Irimie,
D.L and H.F Essmann., 2009. Forest
property Right In The frame of Public Policies and Societal Change. Forest
policy and Economic 11. 2009. Elsivier.
McCulloch,
A.K, R.M Dick, and P Hazzel. 1998.
Property right, Collective action and technologies for Resources
Management: A Conceptual Framework . International Food and Policy Research
Institute. Washington
North,
D.C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge University Press. New York. USA.
Nugroho,
B., dan H. Kartodihardjo. 2009. Kelembagaan PES; Permasalahan, Konsep, dan
Implementasi. Disampaikan pada Lokakarya Payment on Environmental Services
(PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren dan
Dinamikanya. Bogor, 3‐4 Agustus 2009.
Nur
Alim, L., 2011. Faktor-faktor yang menyebabkan perambahan hutan di Dongi-Dongi
Taaman nasional Lore Lindu. Skripsi.
Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako.
Ostrom,
E. 2003. How Type of Goods and Property
Rights Jointly Affect Collective action. Journal of Theoritical Politics Vol.
15 (3).
Ostrom,
E. 2008. . Institutions and the environment. Jurnal Compilation. Oxford, UK: Blackwell Publising. Institute of
Economic Affair
Regional.kompas.com.
Akhirnya Warga Dongi-dongi mengadu ke Gubernur. Diunduh tanggal 13 Desember
2012.
Rustiadi,
E., S. Saefulhakim., D.R Panuju., 2009.
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crespent Press dan Yayasan Obor.
Jakarta
Schager,
E and E, Ostrom., 2005. Property-Rights
Regimes and Natural resources: A Concept Analys. Land Economic 68 (3).
Simpson
B., R. Willer and Ridgeway, C.L., 2012. Status Hirarchies and the Organization
of Collective action. Sociological Theory. Vol. 30 (3)
Varughese
G and Ostrom E. 2001. The Contested role of Heterogeneity in Collective Action:
Some Evidence from Community Forestry in Nepal. Jurnal World Development
29(5):747-765. Great Britain: Elsevier Science Ltd. PII: S0305-750X(01)00012-2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar