Oleh:
Sudirman Dg Massiri
A.
Latar Belakang Lahirnya Konsep Houtvestarij
Keberhasilan
membangun hutan tanaman di Jerman berdasarkan
azas kelestarian hasil terletak pada perumusan dasar-dasar perencanaan
dan pengelolaan, yang kemudian diterjemahkan dalam membangun hutan hutan jati
di Jawa yang dikenal dengan konsep houtvesterij. Pada akhir abad
ke-19 konsep Jerman tentang organisasi
wilayah tersebut baru berhasil
dirumuskan untuk disesuaikan dengan kondisi jawa oleh Bruinsma. Konsep Bruinsma tersebut disebut konsep Houtvesterij, yang secara resmi disetujui oleh Boschwezen pada tahun 1892. Berdasarkan konsep Houtvesterij terebut, pengelolaan hutan jati di jawa mulai
didasarkan suatu rencana kerja yang teratur, dinamakan rencana perusahaan. Segera setelah diterima pemerintah, konsep Houtvesterij ditindak lanjuti dengan
rencana perusahaan; yang pertama kali diselesaikan adalah rencana perusahaan
untuk bagian hutan (Boschafdeling) keradenan
utara yang berlaku untuk jangka 1898-1907 (Soepardi, 1984). Dengan konsep houtvesterij ini terbukti hutan tanaman jati di Jawa dapat dibangun dengan hasil yang memuaskan.
Tujuan yang
ingin dicapai konsep Houtvesterij
adalah untuk mengatur organisasi lapangan agar pengelolaan hutan
berdasarakan azas kelestarian hasil sehingga dapat diselenggarakan secar efektif dan efisien. Sebelum Bruinsma mengajukan konsep houtvesterij, Tim Mollier mengemukakan pendapat perlunya
menetapkan unit pengelolaan hutan kecil, yaitu satuan luas sekitar 5.000
ha. Entah dipengaruhi oleh pendapat
tersebut atau tidak, konsep Hotvesterij
yang diajukan Bruinsma menyodorkan pembentukan organisasi lapangan untuk
perencanaan (unit perencanan, planning
unit) dan pelaksanaan pengelolaan
(unit pengelolaan, management
unit). Akhirnya unit perencanaan dan
unit pengelolaan harus disinerjiskan menjadi satu. Fungsi unit perencanaan adalah untuk
mengontrol kelestarian hasil kayu, sedangkan fungsi unit pengelolaan adalah
untuk mengontrol keuntungan finansial.
B.
Langkah-langka
mewujudkan hutan Taman jati yang lestari berdasarkan konsep Houtvesterij
Langka pertama
untuk mewujudkan azas kelestaraian dengan tiga persyaratan itu adalah
pembentukan organisasi wilayah untuk mewadahi kegiatan pembangunan hutan,
mengatur administrasi pekerjaan, dan melaksanakan seluruh aktifitas pengelolaan
hutan secara efektif dan efisien.
Prinsip dasar konsep organisasi wilayah
untuk pengelolaan hutan jerman tersebut adalah:
a.
Penentuan unit perencanaan, yang berfungsi untuk
kelestarian hasil
b. Penentuan
Unit pengelolaan untuk yang berfungsi untuk mengontrol
keuntungan perusahaan.
1.
Unit
Perencanaan
Sebagai alat untuk mengontrol
kelestarian hasil, unit perencanaan (planning
unit) menjadi basis untuk perhitungan etat.Dengan demikian, penebangan dalam
rangka memanen hasil yang harus menjamin kelestarian hasil kayu, berarti juga
kelestarian potensi kayu di lapangan, diatur perbagian hutan sebagai satu kesatuan. Berdasarkan pandangan tersebut Soedarwono
Hardjosoediro (1972) menyebut bagian hutan sebagai suatu kesatuan unit
produksi.
Sebagai satu kesatuan produksi,
penentuan luas bagian hutan hanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan
kelestarian tebagangan. Oleh karena itu, berapapun luasnya, keinginan untuk
memanen secara lestari selalu dapat dilakukan. Dengan kata lain, tidak ada
faktor tertentu yang menjadi kendala untuk memenuhi luas bagian hutan. Akibatnya
luas bagaian hutan sebagai luas perencanaan dapat mengikuti luas unit
pengelolaan, yang terikat dengan ketentuan-ketentuan pelaksanaan kegiatan
teknik kehutanan di lapangan.
2.
Unit Pengelolaan
Ditinjau
dari aspek unit pengelolaan (management
unit), suatu kesatuan wilayah harus dapat menampung pelaksanaan kegiatan
teknik kehutanan yang efektif dan efisien.
Kelebihan konsep Hautvesterij yang
diajukan Bruinsma terletak pada dasar-dasar pemikiran yang mudah dimengerti
berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang efektif dan efisien, dan mudah
disinerjiskan dengan aspek unit perencancaan.
Tahap Penentuan Unit
Pengelolaan
Tiga
Tahap penentuan unit pengelolaan tersebut di atas dijelaskan lebih lanjut
sebagai berikut:
Seperti
yang telah diterangkan di atas, dalam paradigma timber management mengenal
tiga macam kegiatan yaitu pembuatan tanaman, pemeliharaan dan pemanenen. Konsep
Bruinsma tentang unit pengelolaan menentukan
luas wilayah mulai dari pemanenan,
perhitungan luas untuk melaksanakan tiga kegiatan tersebut secara
terpadu. Setiap kegiatan menentukan luas
tertentu agar dapat dilaksanakan oleh suatu organisasi pelaksana dengan hasil
yang baik. Dengan panjang lebar
Soedarwono menerangkan masalah ini, yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
kegiatan pembuatan tanamanlah yang menjadi penentu luas unit pengelolaan. Hasil penelitian Soedarwono (1970)
menyebutkan bahwa luas pembuatan tanaman jati yang normal dengan sistem tumpang
sari adalah 10 ha. Berdasarkan hal
tersebut maka luas satuan unit pengelolaan terkecil adalah luas pembuatan
tanaman yang normal tersebut dikalikan dengan panjang daur.
Panjang
daur untuk hutan jati ditetapkan pada awal pembuatan Houvesterij adalah 80 tahun.Walaupun pada tahun 1939 dan tahun 1942
diketahui bahwa daur finansial untuk hutan tanaman jati ternyata jatuh pada umur sekitar 42 tahun,
namun daur jati tetap dipakai 80 tahun karena alasan konservasi dan
kehati-hatian. Oleh karena itu dengan
mudah luas satuan unit pengelolaan hutan terkecil, yaitu dapat menampung ketiga
macam kegiatan teknik kehutanan tersebut, dapat dihitung dari perkalian anatara
perkalian kemampuan membuat tanaman dengan panjang daur. Dengan demikian ditemukan angka 800 ha untuk
luas unit pengelolaan hutan terkecil yang normal. Tentu saja di lapangan ada variasi karena
pertimbangan-pertimbangan lokal, sehingga luas unit pengelolaan hutan terkecil
tidak selalu 800 ha, melainkan dapat bergoyang antara 600-1.200 ha.
Luas unit pengelolaan ditetapkan untuk
menjamin pelaksanaan pengelolaan yang secara finansial menguntungkan
perusahaan. Untuk mencapai tujuan ini,
unit pengelolaam dibuat berjenjang yakni:
a. Unit pengelolaan harus terkecil: Untuk mengatur pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan
(penanaman, pemeliharaan dan pemanenan) yang teratur agar diperoleh hasil kayu
yang lestari sehingga pengelolaan hutan selalu menerima keuntungan uang setiap
tahun. Untuk pengelolaan hutan terkecil
ini kemudian dinamakan Resolt Polisi Hutan (RPH)
b. Unit
pengelolaan hutan untuk memperoleh keuntungan perusahaan pada tingkat tegakan (stand level management), yang merupakan
gabungan pengelolaan terkecil.
Penggabungan ini dilakukan dua tahap sesuai dengan ketentuan penyusunan organisasi pengelolaan yang efektif dan
efisien, yaitu dengan apa yang dinamakan jenjang pengawasan (span of control). Pada waktu hukum jenjang pengawasan untuk
pembentukan organisasi wilayah yang dianggap baik adalah dengan perbandingan
1:(4-6). Dua tahap panggabungan itu
adalah:
1. Empat sampai enam RPH diikordinir oleh seorang
pejabat pimpinan tingkat lapangan. Pada
era Djatibedrijfs
koordinator beberapa RPH dinamakan opziner,
pada masa jawatan kehutanan disebut kepala Bagian Daerah Hutan (KBDH) dan pada
zaman perhutani dinamakan Asisten Perhutani (Asper) atau kepala Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KBKPH). Dari istilah opziner tersebut maka pejabat ini lebih
terkenal dengan sebutan sinder.
2. Dua
sampai empat opziner digabung menjadi
satu disebut Houtvesterij. Pelaksanaan houtvesterij ini dipimpin oleh seorang Houtvester, yang ada pada jawatan kehutanan yang dinamakan Kepala
Daerah Hutan (KDH), dan pada zaman perhutani berubah menjadi
administratur/kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (adm/KPH).
c. Unit pengelolaan hutan untuk memperoleh
keuntungan dengan melibatkan seluruh kegiatan kehutanan, mulai dari membangun
(membuat tanaman) sampai mengolah dan memasarkan hasilnya.
C. Organisasi
Pengelolaan Hutan Tanaman Jati
Pada Hutan jati di Jawa, organisasi ini
dinamakan opper-Houtvesterij yang
merupakan gabungan beberapa Houtvesterij.
Setelah kemerdekaan istilah Opper-Houtvesterij ini dirubah menjadi daerah hutan (DH) yang
disesuaikan dengan batas administrasi pemerintahan (kabupaten), dan setelah
pengelolaan hutan jati di jawa diserahkan kepada PN perhutani pada tahun 1962
disebut Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Di luar Pulau Jawa saat ini, KPH tersebut disebut sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Beberapa
waktu sebelum konsep Houtvesterij
disetujui, Boschwzen membentuk suatu
badan yang disebut Boschwagter
(penjaga hutan), yang bertugas mengawasi pelaksanaan pembuatan batas kawasan
hutan sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Agrariche
wet tahun 1865 dimana di
dalamnya terdapat Domeinverklaaring
tentang batas kawasan hutan. Setelah
penataan Houtvesterij di buat di
lapangan untuk menyusun rencana perusahaaan, seorang Boschwagter diberi kekuasaan untuk menjaga keamanan suatu wilayah
tertentu, yang dikaitkan dengan pengawasan pelaksanaan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, dan pemanenan. Oleh karena
itu wilayah kerja Boschwagter dibuat
identik dengan satuan luas unit pengelolaan hutan terkecil yakni dengan luas
800 ha, sehingga dalam perjalanan selanjutnya Boschwagter seolah-olah menjadi kordinator ketiga macam kegiatan
tadi. Wilayah tersebut kemudian
dinamakan Resort Polisi Hutan.
Pada
akhir abad ke-19, ilmu manajemen mengenal jenjang pengawasan (spam of control). Untuk organisasi pimpinan, hukum jenjang
pengawasan yang berlaku pada saat itu adalah seorang pimpinan dapat mengawasi
dan mengkoordinir pimpinan di bawahnya dengan rentang 1:4-6. Untuk kehutanan
karena menghadapi wilayah yang luas, dengan komunikasi yang tidak lancar, pada
umumnya diambil batas wilayah yaitu jenjang pengawasan 1:4. Oleh karena itu empat wilayah RPH diawasi
oleh seorang wilayah pimpinan yang disebut Opziener. Dari istilah inilah kemudian dikenal istilah sinder, yaitu pejabat kehutanan yang
memimpin sekitar empat wilayah RPH.
Dalam era jawatan kehutanan (1950-1963) jabatan sinder tersebut dinamakan KDH, sedang dalam era perhutani dinamakan
KBKPH atau Asper. Struktur organisasi masing-masing era tersebut digambagrkan
sebagai berikut:
Dalam
konsep Houtvesterij, kegiatan
menanaman, pemeliharaan dan pemanenan diupayakan untuk dilakukan lestari setiap
tahun. Hal ini didorong oleh dua
kepentingan yaitu adanya hasilkayu (dari tebangan) yang kontinyu dalam jumlah
yang kurang lebih sama dan ekajenan tenaga kerja untuk menjamin lapangan kerja
yang tetap dan menjaga dan meningkatkan keterampilan pekerja. Oleh karena itu,
di dalam wilayah RPH itulah sebenarnya kelestarian pengelolaan hutan harus
dijaga atau diupayakan. Dengan kata lain kunci tercapainya kelestarian terletak
pada keberhasilan untuk menjaga agar seluruh kegiatan teknik kehutanan dapat
terus berkesinambungan dalam suatu wilayah RPH.
Karena pekerjaan pemanenan memerlukan pengawasan yang relatif berat dan
menghasilkan uang maka RPH pernah disebut sebagai pusat tebang, terjemahan dari
bahasa belanda Boscharchitect,
disingkat BA, sedangkan untuk RPH yang sedikit tebangannya tetap disebut opziener.
Baik
wilayah RPH maupun gabungannya yang
dipimpin oleh opziener atau Boscharchitect adalah organisasi
pengelolaan tingkat tegakan (level stand
management). Dengan terbentuknya
RPH, BDH atau BKPH tersebut, maka pembentukan unit perencanaan atau bagian
hutan dengan mudah dilakukan. Di dalam
kenyataan, satu bagian hutan secara teoritis dapat dibentuk dari satu, dua atau
bahkan empat BDH, tanpa mengganggu berfungsinya unit perencanaan maupun unit
pengelolaan dalam konteks azas kelesztaraian.
Inilah yang menyebabkan konspe Bruinsma tersebut mudah diterima dan
masih akan berlaku sampai kapan saja, walaupun aplikasi azas kelestarian maupun
paradigma pengelolaan hutan telah mengalami perubahan.
Untuk
kepentingan pengembangan organisasi, agar diperoleh efisiensi yang lebih baik
maka satu atau dua bagian hutan dipimpin oleh seorang pejabat yang dinamakan Houtvesster, sedangkan wilayah kerjanya
dinamakan Houtvesterij. Pada akhir era Boschwazen sebelum jepang menduduki indonesia, sudah dilaksanakan
gagasan untuk pengelolaan hutan yang memperhitungkan kegiatan pengolahan kayu
dan pemasaran yang lebih menguntungkan. Untuk itu beberapa Houvesterij digabungkan menjadi satu dan dinamakan Opper-Houtvesterij. Setelah kemerdekaan, Opper-Houtvesterij inilah yang kemudian disebut dengan daerah hutan
yang dipimpin oleh seorang KDH. Setelah
jawatan kehutanan digantikan maka DK berubah menjadi KPH (kesatuan Pemangkuan
Hutan) yang dipimpin oleh pejabat yang disebut Adm/KKPH.
Tampaknya, Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan yang genjar-genjarnya dibangun di luar pulau jawa juga tidak terlepas dari pondasi dari konsep Houtvesterij.
Namun demikian, konsep ini perlu ada pengembangan, sehingga tidak hanya mengelola dan fokus pada sumberdaya hutan semata tetapi
memperhatikan masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai
faktor penting yang harus diakomodasi dalam membuat kebijakan pengelolaan
hutan. Konsep pengelolaan hutan melalui KPH di luar pulau jawa dapat berjalan jika KPH itu dapat melaksanakan resolusi konflik, memberikan kepastian akses dan hak kepada masyarakat lokal yang bergantung terhadap sumberdaya hutan, sebab persyaratan dasar bagi terwujudnya kelestarian pengelolaan adalah adanya jaminan kepastian kawasan yang diakui oleh semua pihak.
Sumber Bacaan:
Simon,
H., 2007. Perencanaan Pembangunan
Sumberdaya Hutan, Jilid I Timber Management. Bahan Ajar. Jogjakarta.
Simon,
H., 2007. Pengelolaan
Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori dan Aplikasi Pada
Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Simon,
H., 2006.
Hutan Jati dan Kemakmuran.
Problema dan Strategi pemecahannya. Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar