Selasa, 22 September 2015

BELAJAR DARI KONSEP HOUTVESTERIJ UNTUK MEMBANGUN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA



Oleh:
Sudirman Dg Massiri

A.     Latar Belakang Lahirnya Konsep Houtvestarij
Keberhasilan membangun hutan tanaman di Jerman berdasarkan  azas kelestarian hasil terletak pada perumusan dasar-dasar perencanaan dan pengelolaan, yang kemudian diterjemahkan dalam membangun hutan hutan jati di Jawa yang dikenal dengan konsep houtvesterij. Pada akhir abad ke-19 konsep Jerman tentang organisasi  wilayah tersebut  baru berhasil dirumuskan untuk disesuaikan dengan kondisi jawa oleh Bruinsma.  Konsep Bruinsma tersebut disebut konsep Houtvesterij,  yang secara resmi disetujui oleh Boschwezen pada tahun 1892.  Berdasarkan konsep Houtvesterij terebut, pengelolaan hutan jati di jawa mulai didasarkan suatu rencana kerja yang teratur, dinamakan rencana perusahaan.  Segera setelah diterima pemerintah, konsep Houtvesterij ditindak lanjuti dengan rencana perusahaan; yang pertama kali diselesaikan adalah rencana perusahaan untuk bagian hutan (Boschafdeling) keradenan utara yang berlaku untuk jangka 1898-1907 (Soepardi, 1984). Dengan konsep houtvesterij ini terbukti  hutan tanaman jati di Jawa dapat dibangun dengan hasil yang memuaskan.
Tujuan yang ingin dicapai konsep Houtvesterij adalah untuk mengatur organisasi lapangan agar pengelolaan hutan berdasarakan  azas kelestarian hasil sehingga dapat diselenggarakan secar efektif dan efisien.  Sebelum Bruinsma mengajukan konsep houtvesterij, Tim Mollier mengemukakan pendapat perlunya menetapkan unit pengelolaan hutan kecil, yaitu satuan luas sekitar 5.000 ha.  Entah dipengaruhi oleh pendapat tersebut atau tidak, konsep Hotvesterij yang diajukan Bruinsma menyodorkan pembentukan organisasi lapangan untuk perencanaan (unit perencanan, planning unit) dan  pelaksanaan pengelolaan (unit pengelolaan,    management unit).  Akhirnya unit perencanaan dan unit pengelolaan harus disinerjiskan menjadi satu.  Fungsi unit perencanaan adalah untuk mengontrol kelestarian hasil kayu, sedangkan fungsi unit pengelolaan adalah untuk mengontrol keuntungan finansial.

B.            Langkah-langka mewujudkan hutan Taman jati yang lestari berdasarkan konsep Houtvesterij
Langka pertama untuk mewujudkan azas kelestaraian dengan tiga persyaratan itu adalah pembentukan organisasi wilayah untuk mewadahi kegiatan pembangunan hutan, mengatur administrasi pekerjaan, dan melaksanakan seluruh aktifitas pengelolaan hutan secara efektif dan efisien.  Prinsip dasar konsep organisasi  wilayah untuk pengelolaan hutan jerman tersebut adalah:
a.        Penentuan unit perencanaan, yang berfungsi untuk kelestarian hasil
b.      Penentuan Unit pengelolaan untuk  yang berfungsi untuk mengontrol keuntungan perusahaan.
1.      Unit Perencanaan
Sebagai alat untuk mengontrol kelestarian hasil, unit perencanaan (planning unit) menjadi basis untuk perhitungan etat.Dengan demikian, penebangan dalam rangka memanen hasil yang harus menjamin kelestarian hasil kayu, berarti juga kelestarian potensi kayu di lapangan, diatur perbagian hutan sebagai satu kesatuan.  Berdasarkan pandangan tersebut Soedarwono Hardjosoediro (1972) menyebut bagian hutan sebagai suatu kesatuan unit produksi.
Sebagai satu kesatuan produksi, penentuan luas bagian hutan hanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan kelestarian tebagangan. Oleh karena itu, berapapun luasnya, keinginan untuk memanen secara lestari selalu dapat dilakukan. Dengan kata lain, tidak ada faktor tertentu yang menjadi kendala untuk memenuhi luas bagian hutan. Akibatnya luas bagaian hutan sebagai luas perencanaan dapat mengikuti luas unit pengelolaan, yang terikat dengan ketentuan-ketentuan pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan di lapangan.
2.       Unit Pengelolaan
Ditinjau dari aspek unit pengelolaan (management unit), suatu kesatuan wilayah harus dapat menampung pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan yang efektif dan efisien.  Kelebihan konsep Hautvesterij yang diajukan Bruinsma terletak pada dasar-dasar pemikiran yang mudah dimengerti berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang efektif dan efisien, dan mudah disinerjiskan dengan aspek unit perencancaan.
Tahap Penentuan Unit Pengelolaan
Tiga Tahap penentuan unit pengelolaan tersebut di atas dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Seperti yang telah diterangkan di atas, dalam paradigma timber management  mengenal tiga macam kegiatan yaitu pembuatan tanaman, pemeliharaan dan pemanenen. Konsep Bruinsma tentang unit pengelolaan menentukan  luas wilayah mulai dari pemanenan,  perhitungan luas untuk melaksanakan tiga kegiatan tersebut secara terpadu.  Setiap kegiatan menentukan luas tertentu agar dapat dilaksanakan oleh suatu organisasi pelaksana dengan hasil yang baik.   Dengan panjang lebar Soedarwono menerangkan masalah ini, yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kegiatan pembuatan tanamanlah yang menjadi penentu luas unit pengelolaan.  Hasil penelitian Soedarwono (1970) menyebutkan bahwa luas pembuatan tanaman jati yang normal dengan sistem tumpang sari adalah 10 ha.  Berdasarkan hal tersebut maka luas satuan unit pengelolaan terkecil adalah luas pembuatan tanaman yang normal tersebut dikalikan dengan panjang daur.
Panjang daur untuk hutan jati ditetapkan pada awal pembuatan Houvesterij adalah 80 tahun.Walaupun pada tahun 1939 dan tahun 1942 diketahui bahwa daur finansial untuk hutan tanaman jati  ternyata jatuh pada umur sekitar 42 tahun, namun daur jati tetap dipakai 80 tahun karena alasan konservasi dan kehati-hatian.  Oleh karena itu dengan mudah luas satuan unit pengelolaan hutan terkecil, yaitu dapat menampung ketiga macam kegiatan teknik kehutanan tersebut, dapat dihitung dari perkalian anatara perkalian kemampuan membuat tanaman dengan panjang daur.  Dengan demikian ditemukan angka 800 ha untuk luas unit pengelolaan hutan terkecil yang normal.  Tentu saja di lapangan ada variasi karena pertimbangan-pertimbangan lokal, sehingga luas unit pengelolaan hutan terkecil tidak selalu 800 ha, melainkan dapat bergoyang antara  600-1.200 ha.
Luas unit pengelolaan ditetapkan untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan yang secara finansial menguntungkan perusahaan.  Untuk mencapai tujuan ini, unit pengelolaam dibuat berjenjang yakni:
a.        Unit pengelolaan harus terkecil:  Untuk mengatur pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan (penanaman, pemeliharaan dan pemanenan) yang teratur agar diperoleh hasil kayu yang lestari sehingga pengelolaan hutan selalu menerima keuntungan uang setiap tahun.   Untuk pengelolaan hutan terkecil ini kemudian dinamakan Resolt Polisi Hutan (RPH)
b.      Unit pengelolaan hutan untuk memperoleh keuntungan perusahaan pada tingkat tegakan (stand level management), yang merupakan gabungan pengelolaan terkecil.  Penggabungan ini dilakukan dua tahap sesuai dengan ketentuan penyusunan  organisasi pengelolaan yang efektif dan efisien, yaitu dengan apa yang dinamakan jenjang pengawasan (span of control).  Pada waktu hukum jenjang pengawasan untuk pembentukan organisasi wilayah yang dianggap baik adalah dengan perbandingan 1:(4-6).  Dua tahap panggabungan itu adalah:
1.       Empat sampai enam RPH diikordinir oleh seorang pejabat pimpinan tingkat lapangan.  Pada era  Djatibedrijfs koordinator beberapa RPH dinamakan opziner, pada masa jawatan kehutanan disebut kepala Bagian Daerah Hutan (KBDH) dan pada zaman perhutani dinamakan Asisten Perhutani (Asper) atau kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (KBKPH).  Dari istilah opziner tersebut maka pejabat ini lebih terkenal dengan sebutan sinder.
2.      Dua sampai empat opziner digabung menjadi satu disebut Houtvesterij.  Pelaksanaan houtvesterij ini dipimpin oleh seorang Houtvester, yang ada pada jawatan kehutanan yang dinamakan Kepala Daerah Hutan (KDH), dan pada zaman perhutani berubah menjadi administratur/kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (adm/KPH).
c.        Unit pengelolaan hutan untuk memperoleh keuntungan dengan melibatkan seluruh kegiatan kehutanan, mulai dari membangun (membuat tanaman) sampai mengolah dan memasarkan hasilnya.
C.    Organisasi Pengelolaan Hutan Tanaman Jati
 Pada Hutan jati di Jawa, organisasi ini dinamakan opper-Houtvesterij yang merupakan gabungan beberapa Houtvesterij. Setelah kemerdekaan  istilah Opper-Houtvesterij  ini dirubah menjadi daerah hutan (DH) yang disesuaikan dengan batas administrasi pemerintahan (kabupaten), dan setelah pengelolaan hutan jati di jawa diserahkan kepada PN perhutani pada tahun 1962 disebut Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Di luar Pulau Jawa saat ini, KPH tersebut  disebut sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Beberapa waktu sebelum konsep Houtvesterij disetujui, Boschwzen membentuk suatu badan yang disebut Boschwagter (penjaga hutan), yang bertugas mengawasi pelaksanaan pembuatan batas kawasan hutan sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Agrariche wet tahun 1865 dimana di dalamnya terdapat Domeinverklaaring tentang batas kawasan hutan.  Setelah penataan Houtvesterij di buat di lapangan untuk menyusun rencana perusahaaan, seorang Boschwagter diberi kekuasaan untuk menjaga keamanan suatu wilayah tertentu, yang dikaitkan dengan pengawasan pelaksanaan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.  Oleh karena itu wilayah kerja Boschwagter dibuat identik dengan satuan luas unit pengelolaan hutan terkecil yakni dengan luas 800 ha, sehingga dalam perjalanan selanjutnya Boschwagter seolah-olah menjadi kordinator ketiga macam kegiatan tadi.  Wilayah tersebut kemudian dinamakan Resort Polisi Hutan.
Pada akhir abad ke-19, ilmu manajemen mengenal jenjang pengawasan (spam of control).  Untuk organisasi pimpinan, hukum jenjang pengawasan yang berlaku pada saat itu adalah seorang pimpinan dapat mengawasi dan mengkoordinir pimpinan di bawahnya dengan rentang 1:4-6. Untuk kehutanan karena menghadapi wilayah yang luas, dengan komunikasi yang tidak lancar, pada umumnya diambil batas wilayah yaitu jenjang pengawasan 1:4.  Oleh karena itu empat wilayah RPH diawasi oleh seorang wilayah pimpinan yang disebut Opziener.  Dari istilah inilah kemudian dikenal istilah sinder, yaitu pejabat kehutanan yang memimpin sekitar empat wilayah RPH.  Dalam era jawatan kehutanan (1950-1963) jabatan sinder tersebut dinamakan KDH, sedang dalam era perhutani dinamakan KBKPH atau Asper. Struktur organisasi masing-masing era tersebut digambagrkan sebagai berikut:
 

 
Dalam konsep Houtvesterij, kegiatan menanaman, pemeliharaan dan pemanenan diupayakan untuk dilakukan lestari setiap tahun.  Hal ini didorong oleh dua kepentingan yaitu adanya hasilkayu (dari tebangan) yang kontinyu dalam jumlah yang kurang lebih sama dan ekajenan tenaga kerja untuk menjamin lapangan kerja yang tetap dan menjaga dan meningkatkan keterampilan pekerja. Oleh karena itu, di dalam wilayah RPH itulah sebenarnya kelestarian pengelolaan hutan harus dijaga atau diupayakan. Dengan kata lain kunci tercapainya kelestarian terletak pada keberhasilan untuk menjaga agar seluruh kegiatan teknik kehutanan dapat terus berkesinambungan dalam suatu wilayah RPH.  Karena pekerjaan pemanenan memerlukan pengawasan yang relatif berat dan menghasilkan uang maka RPH pernah disebut sebagai pusat tebang, terjemahan dari bahasa belanda Boscharchitect, disingkat BA, sedangkan untuk RPH yang sedikit tebangannya tetap disebut opziener. 
Baik wilayah RPH maupun  gabungannya yang dipimpin oleh opziener atau Boscharchitect adalah organisasi pengelolaan tingkat tegakan (level stand management).  Dengan terbentuknya RPH, BDH atau BKPH tersebut, maka pembentukan unit perencanaan atau bagian hutan dengan mudah dilakukan.  Di dalam kenyataan, satu bagian hutan secara teoritis dapat dibentuk dari satu, dua atau bahkan empat BDH, tanpa mengganggu berfungsinya unit perencanaan maupun unit pengelolaan dalam konteks azas kelesztaraian.  Inilah yang menyebabkan konspe Bruinsma tersebut mudah diterima dan masih akan berlaku sampai kapan saja, walaupun aplikasi azas kelestarian maupun paradigma pengelolaan hutan telah mengalami perubahan. 
Untuk kepentingan pengembangan organisasi, agar diperoleh efisiensi yang lebih baik maka satu atau dua bagian hutan dipimpin oleh seorang pejabat yang dinamakan Houtvesster, sedangkan wilayah kerjanya dinamakan Houtvesterij.  Pada akhir era Boschwazen sebelum jepang menduduki indonesia, sudah dilaksanakan gagasan untuk pengelolaan hutan yang memperhitungkan kegiatan pengolahan kayu dan pemasaran yang lebih menguntungkan. Untuk itu beberapa Houvesterij digabungkan menjadi satu dan dinamakan Opper-Houtvesterij.  Setelah kemerdekaan, Opper-Houtvesterij inilah yang kemudian disebut dengan daerah hutan yang dipimpin oleh seorang KDH.  Setelah jawatan kehutanan digantikan maka DK berubah menjadi KPH (kesatuan Pemangkuan Hutan) yang dipimpin oleh pejabat yang disebut Adm/KKPH.
Tampaknya, Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan  yang genjar-genjarnya dibangun di luar pulau jawa juga tidak terlepas dari pondasi dari konsep Houtvesterij. Namun demikian, konsep ini perlu ada pengembangan, sehingga tidak hanya mengelola dan fokus pada sumberdaya hutan semata  tetapi memperhatikan masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai faktor penting yang harus diakomodasi dalam membuat kebijakan pengelolaan hutan.  Konsep pengelolaan hutan melalui KPH di luar pulau jawa dapat berjalan jika  KPH itu dapat melaksanakan resolusi konflik, memberikan kepastian akses dan hak kepada masyarakat lokal yang bergantung terhadap sumberdaya hutan, sebab persyaratan dasar bagi terwujudnya kelestarian pengelolaan adalah adanya jaminan kepastian kawasan yang diakui oleh semua pihak.

Sumber Bacaan:
Simon, H., 2007.  Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Hutan, Jilid I Timber Management. Bahan Ajar. Jogjakarta.
 Simon, H.,  2007.  Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

  Simon, H., 2006.  Hutan Jati dan Kemakmuran. Problema dan Strategi pemecahannya. Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar