Selasa, 22 September 2015

LANGAKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HINDIA BELANDA DALAM MEMBANGUN HUTAN TANAMAN JATI DI JAWA



Oleh
Sudirman Dg Massiri


I.           Periode Persiapan Timber Management
            Bangsa Belanda melalui VOC-nya sangat sistematik dalam mengembangkan bisnisnya, termasuk perdagangan kayu jati melalui mobilisasi tebangan secara besar-besaran yang tentunya menghasilkan uang sangat berlimpah bagi mereka. Namun setelah lama beroperasi, terjadi kerusakan hutan yang amat parah. Secara kebetulan, hancurnya hutan jati diikuti kebangkrutan VOC pada 1796 akibat kerugian finansial yang begitu besar. Walaupun pejabatnya kaya raya, yang disinyalir diperoleh dari hasil korupsi.
            Peralihan kekuasaan dari VOC yang telah bangkrut ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda, diiringi dengan jatuhnya negeri itu kepada Republik Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Selanjutnya, Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk memerintah Nusantara yang pada waktu itu disebut Hindia Belanda. Salah satu amanat yang harus dipikul Daendels adalah merehabilitasi hutan jati di Jawa yang rusak berat akibat praktik timber extraction VOC. Sebelum melaksanakan tugasnya, Daendels sengaja membekali diri dengan mempelajari bagaimana merehabilitasi hutan yang dilakukan Jerman sebagai negara paling berhasil menerapkan konsep timber management.
Bersamaan dengan dimulainya pemerintah Hindia Belanda setelah VOC bubar, pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil (sustained yield principles) sedang menggelora di Eropa. Sistem pengelolaan hutan modern ini telah menemukan bentukunya yang konkrit di lapangan, khususnya di Jerman. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda lalu menetapkan untuk mengelola hutan jati di Jawa secara profesional agar prinsip keleestarian dapat terwujud. Ternyata, upaya ini dapat dicapai walaupun memerlukan waktu yang cukup panjang.
            Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan karena tidak memiliki tenaga ahli yang memadai dibidang pengelolaan huta. Hal ini berbeda dengan Jerman misalnya, yang sejak abad ke-17 telah memiliki akademi kehutanan karena Jerman memang sudah lama dihadapkan dengan masalah kerusakan hutannya akibat pelaksanaan timber extraction sejak penjajahan Romawi.
            Periode persiapan pengelolaan hutan jati di Jawa berdasarkan kelestarian dapat dipisahkan menjadi 2, yaitu :
·         Periode persiapan menuju pengelolaan hutan lestari, 1808-1849.
·         Periode pemantapan persiapan, 1849-1892
a.    Periode persiapan (1808-1849)
Seperti telah dikatakan diatas, akibat praktek timber extraction oleh VOC selama hampir 200 tahun itu, hutan alam jati di Jawa mengalami kerusakan. Sebagaimana ciri timber extraction pada umumnya, pada zaman VOC itupun masalah permudaan sama sekali diabaikan, walaupun pada waktu yang sama  timber management yang sudah menganut asas kelestarian hasil telah dilaksanakan dengan semangat tinggi di Jerman. Kerusakan hutan dianggap sudah parah pada waktu kontrol atas Nusantara diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Salah satu kebijakan penting untuk tetap dapat memanfaatkan Hindia Belanda bagi kepentingan Nederland adalah memperbaiki hutan jati yang rusak itu.
Daendels yang menerima misi itu segera mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengarah kepada pembentukan organisasi kehutanan modern, meniru apa yang telah dilaksanakan di Jerman, untuk menjamin terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Namun demikian, karena daendels bukan seorang rimbawan, dan Negeri Belanda belum memiliki tenaga profesional di bidang kehutanan, maka tentu saja peraturan yang dikeluarkan belum dapat sepenuhnya memenuhi persyaratan yang gayut dengan kebutuhan. Oleh karena itu, walaupun telah berbuat banyak, usaha Daendels untuk mengatur penebangan hutan jati di Jawa itu banyak mengalami hambatan.
Di antara syarat yang diperlukan untuk mewujudkan asas kelestarian, yang mula-mula paling mudah dilihat, adalah keharusan melakukan permudaan diatas areal bekas tebangan. Pekerjaan tebangan itu sendiri harus dirancang dengan baik sehingga luasnya tidak berlebihan. Kedua hal itulah yang pertama kali dilakukan oleh  Daendels, sedangkan pembentukan organisasi teritorial baru akan terwujud setelah periode berikutnya nanti, dan di sini peranan rimbawan sangat menentukan.
Beberapa hambatan yang dihadapi untuk menata hutan jati di Jawa berdasarkan konsep Daendels dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Ø  Pertama, setelah Daendels menjadi penguasa Hindia Belanda selama 3 tahun, kontrol atas Indonesia berpindah ke tangan Inggris pada tahun 1811. Raffles yang ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal (1811-1816) merubah peraturan-peraturan Daendels sehingga praktis spirit sistem kehutanan Jerman terhenti.
Ø  Kedua, setelah kontrol atas Indonesia kembali ke tangan Kerajaan Belanda, ide Daendels ingin ditegakkan lagi oleh penggantinya, namun api pelaksanaannya tentu tidak sama dengan rancangan Daendels, sehingga perkembangan ide tersebut sangat lambat.
Ø  Ketiga, pada tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program Cultuur Stelsel untuk membangun perkebunan kopi, tebu, dan lain-lain. Pembangunan perkebunan ini memperluas lagi penebangan hutan jati yang sejak Daendels telah banyak dikurangi etatnya. Cultuur Stelsel banyak memerlukan lahan subur, baik di dataran rendah maupun di dataran pegunungan. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan lahan sehingga terjadi pembukaan hutan untuk memperoleh lahan garapan baru. Di samping itu, Cultuur Stelsel juga memerlukan kayu konstruksi dalam jumlah besar untuk membangun perumahan atau barak-barak kerja. Oleh karena itu, Cultuur Stelsel mendorong pelaksanaan timber extraction menjadi lebih luas lagi sehingga menghambat persiapan menuju terwujudnya pengelolaan hutan lestari karena kerusakan hutan jati masih terus bertambah luas.
Walaupun secara makro upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari selalu mendapatkan hambatan, namun pejabat kehutanan dan pemerintah terus melanjutkan pembenahan peraturan disertai dengan percobaan-percobaan. Sistem permudaan kembali mulai mendapat perhatian serius karena mulai disadari bahwa inilah yang menjadi salah satu kunci akan terwujudnya kelestarian pengelolaan hutan. Masalah lain yang penting adalah penguasaan lahan hutan dan perbaikan teknik-teknik penebangan berikut prosedur perencanaannya. Namun sampai pertengahan abad ke-19, pemecahan maupun perumusan sistem kegiatan teknik kehutanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan pengelolaan hutan modern masih tetap terbatas pada tahap poercobaan, termasuk masalah permudaan kembali kawasan bekas tebangan.
b.   Periode Pemantapan Persiapan (1849-1892)
Selama  periode trial and error untuk mengatasi masalah kerusakan hutan yang berjalan selama setengah abad itu, belum diketemukan konsep yang jelas untuk menentukan langkah pengelolaan hutan yang selanjutnya. Salah satu sebabnya adalah tiadanya konsep yang riel di lapangna karena Hindia Belanda belum memiliki ahli (sarjana) berpendidikan kehutanan. Dalam kenyataannya kerusakan hutan jati terus bertambah, sedang dilain pihak terjaminnya hasil kayu jati yang kekal semakin diyakini oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam rangka ini banyak pejabat Hindia Belanda yang mengingatkan kembali perlunya mewujudkan konsep Daendels secara sungguh-sungguh. Salah satu keputusan untuk merealisir ide Daendels itu, pada tahun 1849 dibentuk sebuah tim yang ketuai oleh seorang sarjana kehutanan berkebangsaan Jerman bernama Mollier, yang dibantu oleh dua orang juru ukur.
Biarpun tidak terlalu cepat, dan pada umumnya untuk kegiatan kehutanan memang begitu, akhirnya hasil tim Mollier itu sangat nyata, yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura yang pertama tahun 1865, serta diumumkannya peraturan agraria (Domeinverklaaring) tahun 1870. Dengan keluarnya Domeinverklaaring itu, maka batas kawasan hutan di pulau Jawa dan Madura menjadi jelas. Adanya Undang-Undang Kehutanan mendorong perlunya disusun peraturan-peraturan, dan untuk itu diperlukan banyak sekali data dan informasi, yang menyebabkan kegiatan pekerjaan teknik kehutanan serta penelitian dan pengembangan semakin bergairah.
Tindak lanjut hasil dari Mollier cukup banyak. Pemerintah Kerajaan Belanda mengirim banyak mahasiswanya untuk belajar di Akademi Kehutanan di Tarrant, Jerman. Ahli kehutanan bangsa Belanda lulusan Jerman itu akhirnya banyak memberi sumbangan yang sangat penting dalam era persiapan pengelolaan hutan lestari ini. Pada tahun1873, Buurman, seorang Kepala Distrik Hutan (KDH), membuat percobaan tumpangsari di daerah hutan Batang dan berhasil dengan baik. Hasil percobaan Buurman ini kelak terus disempurnakan sampai akhirnya tahun 1935 secara resmi oleh Boschwezen dijadikan Petunjuk Teknik Pembuatan Tanaman untuk Hutan Jati.
Pada tahun 1892, usulan Bruinsma tentang pembentukan organisasi teritorial yang dinamakan Houtvesterij di terima. Digabungkan dengan konsep Boschafdeling (bagian Hutan) yang telah dirumuskan oleh tim Mollier, akhirnya penataan hutan dapat dilaksanakan di lapangan (Simon, 1994). Konsep Bruinsma inilah yang dimaksudkan dengan “konsep riel” pengelolaan hutan lestari yang baru saja disebutkan diatas. Hasilnya, pada tahun 1898 Rencana Perusahaan (RP) yang pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara dapat diselesaikan. Beberapa karya besar tersebut menjadi kunci yang membuat kelestarian pengelolaan hutan jati di Jawa dapat terjamin sampai sekarang.
Dengan berhasilnya disusun RP yang pertama, yang kemudiaan di susul RP untuk Bagian Hutan yang lain, maka berakhirlah periode trial and error. Selanjutnya, sejak tahun 1898 pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil mulai dapat dilaksanakan denhan baik, sambil memperbaiki semua petunjuk teknis dan sistem administrasi maupun organisasi yang diperlukan. Dengan demikian, awal pengelolaan hutan lestari pada hutan jati dapat disebut tahun 1892, yaitu diterimanya konsep Bruinsma tentang Houtvesterij, atau tahun 1898, yaitu selesainya RP yang pertama berdasarkan konsep Bruinsma tersebut. Atas dasar itu.
Kalau dikaji lebih mendalam, konsep pengelolaan hutan lesatari yang lahir di Jerman dan kemudiaan di tiru untuk membangun hutan jati di Jawa tersebut dapat berhasil dengan baik karena syarat-syarat yang diperlukan sudah ditangan dan dapat diwujudkan dilapangan. Syarat-syarat tersebut adalah (Simon, 1995) :
1.      Sudah dapat dirumuskan sistem permudaan kembali yang menjamin keberhasilan pembuatan tanaman di lapangan, termasuk teknik silvikultur, prosedur kerja, organisasi pelaksana dan biaya.
2.      Tidak terjadi over-cutting dalam tebangan, sehingga untuk itu harus sudah dimiliki teknik inventore dan sistem perhitungan etat yang baik, dan instrumen pelaksanaan pekerjaan juga sudah lengkap dengan kinerja yang baik pula.
3.      Batas kawasan hutan sudah dapat di tetapkan dan diakui oleh semua pihak, baik instansi pemerintah non kehutanan maupun masyarakat luas.
Untuk mewujudkan syarat yang pertama, hutan jati di Jawa memerlukan waktu lebih dari satu abad. Petunjuk Teknik Pembuatan Tanaman baru dapat di umumkan secara resmi oleh Boschwezen pada tahun 1935, berdasarkan tulisan Buurman tahun1883 (De Djaticultuur) dan percobaan serta pelaksanaan di lapangan sejak tahun 1873. Petunjuk pembuatan tanaman yang pertama adalah laporan Gubernur Overstraten, petunjuk kedua peraturan yang di buat oleh daendels, sedang petunjuk ketiga tercantum dalam Reglement pemerintah tahun  1930. De Djaticultuur sendiri merupakan petunjuk pembuatan tanaman yang kelima, setelah sebelumnya sistem permudaan alam pernah diumumkan oleh Mollier pada tahun 1865. Sistem ini dikenal dengan nama Blandongcultuur.
Persyaratan kedua dapat diselesaikan pada tahun 1938 dengan keluarnya Petunjuk Pembuatan Rencana perusahaan Tetap. Sistem ini disusun atas dasar konsep Mollier yang mulai bekerja pada tahun 1849, digabung dengan konsep Bruinsma yang mulai menyelesaikan RP pertama pada tahun 1898. Jadi, untuk merumuskan petunjun inventore dan sistem perhitungan etat juga memerlukan waktu hampir satu abad. Itupun kedua petunjuk itu sekarang sudah perlu direvisi, atau bahkan diperlukan teknik inventore maupun sistem perhitungan etat yang sama sekali baru.
  Persyaratan yang ketiga, batas kawasan hutan, lebih pelik lagi. Padahal, waktu itu intensitas masalah sosial-ekonomi masyarakat masih jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang. Bagian yang paling sulit untuk keperluan ini adalah menyelesaikan hak ulayat, hak masyarakat setempat atas pengusahaan hutan disekitar desanya. Dengan perlahan-lahan, namun pasti, masalah ini diselesaikan secara sistematis, khususnya melalui kebijakan Blandongdiensten, sampai akhirnya dapat di umumkan Domeinverklaaring pada tahun 1870, setelah sebelumnya berhasil digulirkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa Madura yang pertama pada tahun 1865.       
II.            Periodel Timber Management Pertama
Karena unsur pengelolaan hutan lestari dirasakan telah mulai dikuasasi, pada tahun 1890 pemerintah Hindia Belanda membentuk Djatibedrijfs Perusahaan Jati).  Tugas Djatibedrijfs,  yang merupakan badan usaha profesional milik pemerintah Hindia Belanda (BUMN), adalah untuk memperoleh keuntungan sambil membangun pengelolaan hutan jati agar produktivitasnya terus meningkat.  Berkat penanganan pengelolaan yang profesional itu, maka sistem pengelolaan hutan jati di Jawa memang dapat dikembangkan secara sistematik.  Sepanjang paruh tahun pertama abad ke-20 karya-karya besar lainnya muncul, melengkapi apa yang telah dilahirkan dalam paruh kedua abad ke-19.  Karya-karya baru tersebut yang terpenting adalah sistem penjangan oleh Hart (1928).  Tabel tegakan normal oleh  Wolf Von Wulffing (1932) yang dilengkapi oleh Ferguson (1935),  penelitian tentang sifat-sifat silvikultur jati oleh Coster (1932) yang merupakan elemen-elemen utama untuk menyusun sistem pengelolaan hutan tanaman.
  Periode pelaksanaan timber management pertama secara operasional dimulai dengan selesainya penyusunan rencana perusahaan yang pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara.  Isi rencana perusahaan dititikberatkan pada penyusunan rencana kegatan teknik kehutanan yang dapat menjamin terwujudnya kelestarian hasil kayu pertukangan.  Rencana kegiatan teknik kehutanan tersebut adalah pemanenan, permudaan kembali, dan pemeliharaan tegakan.  Dalam kegiatan pemanenan ada dua kegiatan pokok, yaitu inventore tegakan untuk mengetahui potensi dan perhitungan etat untuk menghitung volume tebangan tahunan yang volume tidak melampauhi  kemampuan tumbuh (riap) tegakan pada unit kelestarian (bagian hutan) yang bersangkutan.
Di bidang permudaan kembali, setelah ada percobaan-percobaan sejak tahun 1796, telah ditemukan sistem buatan yang dikemukakan dan diuji-cobakan oleh Buurman sejak tahun 1773.  Sistem ini kemudian dikenal dengan nama tumpang sari yang memang terbukti menghasilkan hutan tanaman jati yang sangat bagus dengan biaya murah.  Sistem tumpang sari ini memberi sumbangan yang cukup besar dalam pelaksanaan timber management periode pertama, karena dapat memberi jawaban yang meyakinkan bagi rimbawan untuk melestarikan potensi hutan di lapangan sehingga asas kelestarian hasil dapat terwujud.
Dengan pengalaman menyusun dan melaksanakan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian mulai tahun 1898 itu, dan pelaksanaan pengelolaan oleh sebuah organisasi profesional, maka pengalaman demi pengalaman depat dikumpulkan dan khasanah ilmu pengetahuan pengelolaan hutan jati menjadi semakin kaya.  Pengalaman panjang melaksanakan pembuatan tanaman dengan sistem tumpang sari kemudian dituangkan dalam petunjuk teknis pembuatan tanaman jati yang diterbitkan pada tahun 1935.  Setelah didiskusikan secara intensif, hasil penelitian penjarangan yang dilakukan oleh Hart pada tahun 1927 dijadikan dasar untuk menyusun petunjuk teknis penjarangan hutan tanaman jati yang diumumkan pada tahun 1937.
Setelah petunjuk teknik inventore dan pengaturan hasil dapat disempurnakan, maka pada tahun 1938 diumumkan sebuah petunjuk penyusunan rencana perusahaan pada hutan jati yang merangkum semua instruksi yang telah diumumkan oleh Boschwezen.  Dengan diumumkannya petunjuk ini, maka “sempurnalah” instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan pengelolaan hutan jati modern  untuk menghasilkan kayu pertukanan.
Dari tahun-tahun yang menerangkan penyelesaian instrumen pengelolaan (management instrument) tersebut dapat diketahui konsistennya upaya yang dilakukan untuk membangun sistem pengelolaan hutan jat pada waktu itu.  Di samping konsistensi, prestasi tersebut tentu didukung oleh dedikasi rimbawan yang sangat tinggi.  Sikap ini kelak terbukti karena rimbawan mempunyai semangat korps yang tinggi pula sehingga mendorong etos kerja yang dikenal pantang menyerah sebelum mencapai hasil yang dicita-citakan.
Kunci keberhasilan Djatiberijfs adalah:
-          Dibangunnya organisasi perencanaan mandiri dan profesional sejak tahun 1982 yang dinamakan Brigade Planologi.  Organisasi ini bertanggung jawab langsung kepada Menteri pertanian, tidak kepada Boschwezen apalagi kepada pimpinan Djatibedrijfs.
-          Etos kerja rimbawan tinggi, jiwa korsa kuat dan kejujuran dikontrol ketat melalui moral rimbawan, organisasi dan sistem administrasi yang teratur rapi.
-          Djatiberijfs selalu merespon positif setiap inovasi yang muncul, dengan memelihara hubungan baik dengan perguruan tinggi.  Antara tahun 1919-1935 telah dihasilkan dua doktor yang melakukan penelitian pada hutan di Jawa dan semuanya menghasilkan karya yang monumental.
-          Dengan dibentuknya LPH pada tahun 1913, walaupun sebelumnya kegiatan penelitian sudah dilaksanakan, maka penelitian yang dirancang secara berkesinambungan dengan hasil-hasil antara lain telah disebutkan sebelumnya.    
III.         Timber Management Kedua
Kurang dari empat tahun setelah petunjuk penyusunan rencana perusahaan tetap diumumkan oleh Boschwezen, di Indonesia terjadi perubahan politik yang sangat penting.  Pada bulan maret 1942, pemerintah kolonial Belanda harus menyerah tanpa syarat kepada Bala tentara Nippon dan sejak itulah kontrol indonesia kemudian berada di tangan tentara penduduk Jepang.  Ini merupakan akhir pengelolaan hutan jati di Indonesia oleh Hindia Belanda.
Dengan berakhirnya kewenangan Hindi Belanda dalam pengelolaan hutan di Jawa, dalam periode timber manajemen kedua ini mengalami lima periode tahap pelaksanaan yakni:
-          Masa Chaos (Pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan), 1942-1949.
-          Masa adem ayem, masa jawatan kehutanan, 1950-1963
-          Masa transisi perkenalan masalah sosial, 1963-1974.
-          Masa perumusan pengelolaan masalah sosial, 1974-1986
-          Masa uji coba pengelolaan kehutanan sosial, 1986 sampai sekarang. 
IV.         PENUTUP
Langkah-langkah kebijakan pembanguan hutan Jati di Jawa Oleh Hindia Belanda dilakukan secara cermat, sungguh-sunggu dan  sangat hati-hati serta membutuhkan waktu yang sangat lama.  Hasil dari perjalan yang panjang ini memberikan hasil dengan bukti baik hard ware berupa hutan jati yang baik, maupun soft ware berupa instrumen pengelolaan yang baik.

SUMBER BACAAN

Simon, Hasanu., 1994.  Merencanakan Pembangunan Hutan Untuk Strategi kehutanan Sosial.  Aditya Media. Yogyakarta
Simon,  Hasanu.,  2002.  Cultuurstelsel I: Program Pembangunan Perkebunan. Serasah, Media Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Hutan Jati Optimal, Vol. III, No. 25, Oktober 2002. Yogyakarta
Simon, Hasanu., 2004.  Aspek Sosio Teknis Pengelolaan Hutan di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Simon, Hasanu., 2004.  Membangun Kembali Hutan Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Simon, Hasanu., 2007.  Mentap ke depan Hutan Indonesia. Prosiding. Membangun KPH keharusan untuk Hutan Indonesia Lestari. Debut Prass. Yogyaka
Simon, Hasanu., 2007.  Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Simon, Hasanu., 2007.  Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Hutan, Jilid I Timber Management. Bahan Ajar. Jogjakarta.
Simon, Hasanu., 2008.  Kebijakan Hutan Lanjut.  Bahan Ajar Pascasarjana Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar